-->


"Kami tidak lebih hanyalah para penuntut ilmu yang fakir dan hina. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan Ahlus Sunnah Waljama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rosulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari Salafunas Sholih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, sumbernya langsung sampai ke Baginda Rosulullah SAW.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah.


Cari Blog Ini

Kamis, 31 Mei 2012

Belajar Dari Wajah

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Menarik sekali jikalau kita terus menerus belajar tentang fenomena apapun yang terjadi dalam hiruk-pikuk kehidupan ini. Tidak ada salahnya kalau kita buat semacam target. Misalnya : hari ini kita belajar tentang wajah. Wajah? Ya, wajah. Karena masalah wajah bukan hanya masalah bentuknya, tapi yang utama adalah pancaran yang tersemburat dari si pemilik wajah tersebutm Ketika pagi menyingsing, misalnya, tekadkan dalam diri : “Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu seperti bagaimana?” karena pastilah hari ini kita akan banyak bertemu dengan wajah orang per orang. Ya, karena setiap orang pastilah punya wajah. Wajah irtri, suami, anak, tetangga, teman sekantor, orang di perjalanan, dan lain sebagainya. Nah, ketika kita berjumpa dengan siapapun hari ini, marilah kita belajar ilmu tentang wajah.
Subhanallaah, pastilah kita akan bertemu dengan beraneka macam bentuk wajah. Dan, tiap wajah ternyata dampaknya berbeda-beda kepada kita. Ada yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Lho, kok menakutkan? Kenapa? Apa yang menakutkan karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya mungil tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghunjam, tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.
Pernah suatu ketika berjumpa dengan seorang ulama dari Afrika di Masjidil Haram, subhanallaah, walaupun kulitnya tidak putih, tidak kuning, tetapi ketika memandang wajahnya… sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung qolbu yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air sejuk menyegarkan di pagi hari. Ada pula seorang ulama yang tubuhnya mungil, dan diberi karunia kelumpuhan sejak kecil. Namanya Syekh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual gerakan Intifadah, Palestina. Ia tidak punya daya, duduknya saja di atas kursi roda. Hanya kepalanya saja yang bergerak. Tapi, saat menatap wajahnya, terpancar kesejukan yang luar biasa. Padahal, beliau jauh dari ketampanan wajah sebagaimana yang dianggap rupawan dalam versi manusia. Tapi, ternyata dibalik kelumpuhannya itu beliau memendam ketenteraman batin yang begitu dahsyat, tergambar saat kita memandang sejuknya pancaran rona wajahnya.
Nah, saudaraku, kalau hari ini kita berhasil menemukan struktur wajah seseorang yang menenteramkan, maka caru tahulah kenapa dia sampai memiliki wajah yang menenteramkan seperti itu. Tentulah, benar-benar kita akan menaruh hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya, nampak ingin sekali ia membahagiakan siapapun yang menatapnya. Dan sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf, bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat ilmu; bengis dan ketus. Dan ini pun perlu kita pelajari.
Ambillah kelebihan dari wajah yang menenteramkan, yang menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita, dan buang jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak menenteramkan, dan yang tidak menyejukkan. Tidak ada salahnya jika kita evalusi diri di depan cermin. Tanyalah; raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang ada diantara hamba-hamba Allah yang bibirnya di desain agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallaah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan bisa jadi ladang amal bagi siapapun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah lebih maksimal lagi.
Sedangkan bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, yaitu untuk lebih ikhlas lagi. Karena senyum di wajah, bukan hanya persoalan menyangkut ujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin tidak kita membahagiakan orang lain? Ingin tidak kita membuat di sekitar kita tercahayai? Nabi Muhammad SAW, memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas? Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW – bila ada orang yang menyapanya – menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau. Sesuai kadar kemampuannya.
Walhasil, ketika Nabi SAW berbincang dengan siapapun, maka orang yang diajak berbincang ini senantiasa menjadi curahan perhatian. Tak heran bila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi atribut kemuliaan yang beliau contohkan. Dan itu ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara. Adapun kemuramdurjaan, ketidakenakkan, kegelisahan itu muncul ternyata diantara akibta kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh. Tidak punya daya pancar yang kuat.
Orang karena itu, marilah kita berlatih diri meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan. Tapi, mengambil tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya, dan cari kuncinya kenapa sampai seperti itu? Lalu praktekkan dalam perilaku kita sehari-hari. Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!
Mudah-mudahan kita dapat mengutamakan orang lain di hadapan kita, walaupun hanya beberapa menit, walaupun hanya beberapa detik, subhanallaah
Read more »»  

Rabu, 30 Mei 2012

PENJELASAN SHOLAWAT WAHIDIYAH

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


PENJELASAN SHOLAWAT WAHIDIYAH

1. APA Sholawat Wahidiyah itu
Sholawat Wahidiyah adalah rangkaian do’a Sholawat Nabi (Shollallohu ‘alaihi wasallam) sebagaimana tertulis di dalam lembaran Sholawat Wahidiyah, termasuk tatacara dan adab pengamalannya.

2. Tunjukan lembaran Sholawat Wahidiyah yang di maksud dan bagaimana cara mengamalkanya
( Jawabannya terlampir )

3. Apakah faedah Sholawat Wahidiyah ?Faedah Sholawat Wahidiyah untuk menjernikan hati dan Ma‘rifat Billah (sadar kepada Alloh SWT) wa Rosuluhi SAW.Bersabda Rosululloh : 

“Barang siapa membaca shalawat kepadaku satu kali, maka Alloh membalas shalawat kepadanya sepuluh kali; dan barang siapa membaca shalawat kepadaku seratus kali, maka Alloh menulis pada antara kedua matannya : “bebas dari munafiq dan bebas dari neraka”, dan Alloh menempatkannya besok pada Yaumul Qiyamah bersama-sama dengan para suhadak”. (Riwayat Thabrani dari Anas bin Malik)

4. Siapa yang boleh mengamalkan Sholawat Wahidiyah ?
Boleh di amalkan oleh siapa saja pria, wanita, tua muda, dari aliran atau golongan dan bangsa manapun juga, pokoknya tidak pandang bulu, boleh mengamalkan Sholawat Wahidiyah.

5. Solawat wahidiyah telah di ijazahkan secara mutlak , jelaskan ?
Sholawat Wahidiyah telah diberi ijazah secara mutlak oleh mu‘allifnya yaitu AL MUKARROM ROMO KYAI HAJI ABDOEL MADJID MA‘ROEF, Pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Kota Kediri Jatim, bahkan dianjurkan supaya di sebar luaskan kepada masyarakat luas tanpa pandang bulu secara ikhlas dan bijaksana.

6. Sholawat Wahidiyah memiliki beberapa kandungan , sebutkan !
Kandungan-kandungan Sholawat Wahidiyah :
  • Materi rangkaian do‘a Sholawat
  • Etika / tata cara pengamalan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah
  • Ajaran pokok Wahidiyah.
  • Perjuangan Wahidiyah
7. Sebutkan materi rangkaian do’a Sholawat
Materi rangkaian do‘a Sholawat Wahidiyah adalah :
  • Hadiah / tawasyul bacaan fatihah kepada Rosululloh SAW dan Ghoutsu Hadzaz Zaman wa A‘wanihi Rodliyalloohu ‘Anhum
  • Sholawat Wahidiyah ( ALLOOHHUMMA YAA WAHIDU..............dan seterusnya ).
  • Sholawat Ma’rifat ( ALLOOHUMMA KAMAA ANNTA ...............dan seterusnya ).
  • Sholawat Tsaljul Qulub ( YAA SYAFIAL KOLQOSH.............. dan seterusnya ).
  • N idak kepada Rosuulloh ( YAA SAYYIDII YAA ROSULALLOH ).
  • Istighoutsah ( YAA AYYUHAL GHOUTSU........................ dan seterusnya )
  • Tasyafu‘an / memohon syafaat untuk diri sendiri, keluarga, dan umat masyarakat (YAA SYAFIAL KHOLQI HABIBALLOH ........... .............. dan seterusnya ).
  • Doa sholawat yang berisi permohonan agar dalam waktu singkat ummat masyarakat sadar kepada Alloh SWT wa Rosulihi SAW, mohon ampun agar dimudahkan bersatu dalam fafiruu Ilalloh (YAA ROBBANALLAHUMMA........... dan seterusnya )
  • Permohonan barokah untuk segala yang di ciptakan oleh Alloh SWT. ( ALLOHUMMA BAARIK.................... dan seterusnya )
  • Permohonan barokah dalam Mujahadah.
  • Istighroq.
  • Do‘a ajakan kepada masyarakat untuk Fafirru Ilalloh.
  • Etika / tata cara pengamalan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah.
  • Ajaran pokok Wahidiyah.
  • Perjuangan Wahidiyah.
8. Rangkaian Sholawat Wahidiyah sesuai dengan sabda Rosululloh Saw. Sebutkan !
"Apabila salah satu diantara kamu semua menghendaki permohonan sesuatu kepada Alloh SWT, maka awalilah dengan memuji dan menyanjung kepada Alloh SWT yang sepantasnya / sewajarnya, kemudian bacalah Sholawat kepada Rosululloh SAW dan mohonlah menurut kebutuhanmu, maka patutlah do’a itu dikabulkan oleh Alloh SWT".9. Jelaskan sejarah lahimya sholawat wahidiyah !Sholawat Wahidiyah lahir di Pondok Pesantren Kedunglo Kota Kediri Jawa Timur pada tahun 1963.10. Mengapa Sholawat Wahidiyah diamalkan dan di perjuangkan ?!
Sholawat Wahidiyah diamalkan dan di perjuangkan karena disebabkan :
  • adanya kerusakan mental manusia, masyarakat dewasa ini telah di ambang pintu kehancuran, dilanda arus nafsu sehingga mereka tenggelam dalam lautan munkarot dari kebodohanya tentang kesadaran kepada Allah SWT wa Rosulihi SAW. Sholawat Wahidiyah dan Ajaranya telah dibuktikan keampuhannya mampu membawa masyarakat kembali kepada Allah SWT wa Rosulihi SAW.
Sebagaimana sabda Rosululloh SAW:"Akan teriadi di kalangan ummat_Ku beberapa fitnah dan tidak ada yang selamat dari fitnah itu, kecuali orang yang (hatinya) dihidupkan Alloh SWT dengan memiliki ilmu. Imam Turmudzi berkala .. yang dimaksud ilmu oleh Rosululloh SAW, ialah ILMU BILLAH “
Sholawat Wahidiyah dalam cara mengamalkannya diatur praktis disertai dengan etika ( adab ) Ubudiyah kepada Alloh SWT wa Rosulihi, simpel / efektif, efesien mudah dan ringan diamalkan.
Sesuai dengan maksud dan tujuan Pengamalan Sholawat Wahidiyah. Untuk menjernihkan hati dan Ma‘rifat Billah, sedangkan menjernihkan hati dan ma‘rifat Billah adalah wajib hukumnya.
Sholawat Wahidiyah dan kandugannya berdasarkan Al - Qur‘an dan Al - Hadits
11. Apa dasar pengamal Sholawat Wahidiyah ?
Dasar pengamalan Sholawat Wahidiyah adalah perintah Alloh SWT wa Rosulihi SAW :
Allah SWT berfirman :
‘‘ sesungguhnya Allah beserta para malaikatnya senantiasa bersholawat untuk Nabi SAW. Hai orang orang yang beriman bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkan salam penghormatan kepadanya (Nabi SAW.). Sabda Rosululloh SAW.:
‘‘Bacalahlah Solawat kamu sekalian kepada-KU, oleh karena sesungguhnya bacaan Sholawat kepada-KU itu merupakan penwmbus dosa dan pembersih bagi kamu sekalian, dan barang siapa membaca Sholawat pada-KU satu kali Alloh SWT memberi Sholawat kepadamu sepuluh kali ‘‘ 12. Apa tujuan pengamalan Sholawat Wahidiyah ? Tujuan Pengamalan Sholawat Wahidiyah adalah :
  • Ta‘dhim kepada Alloh SWT wa Rosulihi SAW Dalam Kitab Sa'aadatud-daroin hal 373 disebutkan :
'Sesungguhnya maksud dari membaca Sholawat kepada Rosululloh SAW, hanya Ta’dhiman atau mengagungkan beliau beserta melahirkan butuh permohan Beliau untuk dimohonkan kepada Alloh SWT dan Rohmat-Nya yang sesuai dengan makom kedudukan keluhuran Rosululloh SAW disisi Alloh SWT. Andaikata tidak demikian, maka Rosululloh SAW sama sekali tidak membutuhkan kepada Sholawat kita, karena Alloh SWT telah melimpahkan bermacam-macam'kesempurnaan kepada beliau yang tidak ada batasnya".Meningkatkan rasa Mahabbah kepada Alloh SWT wa Rosulihi SAW dan mengikuti kepada Sholawat Alloh SWT dan para Malaikat-NYA.Dalam Kitab Sa'aadatud Daroini hal..530 diterangkan
"Sesungguhnya Rosululloh SAW itu kekasih Alloh SWT,yang tinggi kedudukannya disisi Alloh SWT, dan sesungguhnya Alloh SWT dan para Malikat-NYA telah berSholawat kepada-Nya. Maka wajiblah mencintai kekasih Alloh SWT dan Taqorrub / mendekatkan diri kepada Alloh SWT dengan mencintai, mengagungkan serta menghaturkan Sholawat kepada kekasih Alloh SWT dan juga mengikuti Sholawat-NYA (Alloh) serta sholawatnya para Malaikatnya Alloh.”Tujuan akhir dari pegamalan Sholawat Wahidiyah adalah Penerapan Ajaran Wahidiyah : LILLAH, BILLAH, LIRROSUL, BIRROSUL, LILGHOUTS, BILGHOUTS, YUKTI KULLADZI HAQQIN HAQQAH, TAQDIMUL AHAM, TSUMMAL ANFA, FAL ANFA / FAFIRRU – ILALLOH WA ROSULIHI SAW.


SHOLAWAT WAHIDIYAH BERFAEDAH MENJERNIHKAN HATI DAN
MA'RIFAT BILLAH wa ROSUULIHI SAW
.

ILAA HADLROTI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU'ALAIHI WASSALAM, ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x)
Di hadiyahkan ke haribaan Junjungan kami Kanjeng Nabi Besar Muhammad Shollallohu ‘alaihi Wasallam. Al-Fatihah
WA ILAA HADLROTI GHOUTSI HAADAZ-ZAMAN WAA'AWAANIHI WASAAAIRI AULIYAAILLAAHI RODLIYALLOOHU TA'AALA ‘ANHUM ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x) 
Dan di hadiyahkan ke pangkuan Ghoutsi Hadhazzaman, Para Pembantu Beliau dan segenap Kekasih ALLOH, Rodiyallohu ta’alaa Anhum. Al-Fatihah
ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU YAA AHAD, YAA WAAJIDU YAA JAWAAD, SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA MUHAMMADIW-WA'ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD. FII KULLI LAMHATIW WA NAFASIM BI'ADADI MA'LUMAATILLAAHI, WA FUYU DHOTIHI WA AMDAADIH. .......(100X) 
Yaa Alloh, Yaa Tuhan Maha Esa, Yaa Tuhan Maha Satu, Yaa Tuhan Maha Menemukan, Yaa Tuhan Maha Pelimpah, limpahkanlah sholawat salam barokah atas junjungan kami Kanjeng Nabi Muhammad dan atas keluarga Kanjeng Nabi Muhammad pada setiap kedipnya mata dan naik turunnya napas sebanyak bilangan segala yang Alloh Maha Mengetahui dan sebanyak kelimpahan pemberian dan kelestarian pemeliharaan Alloh.
ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA WAMAULAANAA,WASYAFII'INAA,WAHABIIBINAA,WAQURROTI A'YUNINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU'ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLOOHUMMA BIHAQQIHI AN TUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH; HATTAA LAA NAROO WALAA NASMA'A, WALAA NAJIDA WALAA NUHISSA, WALAA NATAHARROKA WALAA NASKUNA ILLAA BIHAA; WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA NI'MATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MA'RIFATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA RIDLWANIKA YAA ALLOH; WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA'ALAA AALIHI WASHOHBIH. ‘ADADAMAA AHAATHOBIHII ‘ILMUKA WAAHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA YAA ARHAMAR-ROOHIMIIN, WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL'AALAMIIN............. (7X) 
Yaa Alloh, sebagaimana keahlian ada pada-MU, limpahkanlah sholawat salam barokah atas Junjungan kami, Pemimpin kami, Pemberi Syafa’at kami, Kecintaan kami, dan Buah jantung hati kami Kamjeng Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi WaSallam yang sepadan dengan keahlian Beliau, kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, dengan hak kemuliaan Beliau, tenggelamkanlah kami didalam pusat dasar samudra ke-Esaan-MU sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, dan tiada kami bergerak maupun berdiam, melainkan senantiasa merasa didalam samudra Tauhid-MU dan kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, limpahilah kami ampunan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ni’mat karunia-MU yang sempurna Yaa Alloh, sadar ma’rifat kepada-MU yang sempurna Yaa Alloh, cinta kepad-MU dan menjadi kecintaan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ridho kepada-MU dan memperoleh ridho-MU pula yang sempurna Yaa Alloh. Dan sekali lagi Yaa Alloh, limpahkanlah sholawat salan dn barokah atas Beliau Kanjeng Nabi dan atas keluarga dan sahabat Beliau sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh Ilmu-MU dan termuat di dalam Kitab-MU, dengan Rahmat-MU Yaa Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan segala puji bagi Alloh Tuhan seru sekalian alam.
YAA SYAFI'AL-KHOLQISH-SHOLAATU WASSALAAM " ‘ALAIKA NUUROL KHOLQI HAADIYAL ANAAM
WA ASHLAHUU WA RUUHAHU ADRIKNII " FAQODH DHOLAMTU ABADAW-WAROBBINII
WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA " FA-IN TARUDDA KUNTU SYAKHSON HAALIKAA .......(3x) 

Duhai Kanjeng Nabi pemberi Syafa’at makhluq Kepangkuan-MU sholawat dan salam kusanjungkan ¨ Duhai Nur cahaya makhluq , pembimbing manusia ¨ Duhai unsur dan jiwa makhluq,bimbing dan didiklah diriku ¨ Maka sungguh aku manusia yang dholim selalu ¨ tiada arti diriku tanpa engkau Duhai Yaa Sayyidii ¨ jika engkau hindari aku (akibat keterlaluan berlarut-larutku), pastilah ‘ku ‘kan hancur binasa.
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !....... (7x) 
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
YAA AYYUHAL-GHOUTSU SALAAMULLOOH " ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAAH
WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH " MUUSHILATIL-LIL-HADLROTIL'ALIYYAH....... (3x)

Duhai Ghoutsu Hadhaz Zaman, kepangkuan-MU salam Alloh kuhaturkan ¨ Bimbing dan didiklah diriku dengan izin Alloh ¨ dan arahkan pancaran sinar Nadroh-MU kepadaku Duhai Yaa Sayyidii ¨ radiasi batin yang mewusulkan aku sadar kehadirat Maha Luhur Tuhanku
YAA SYAAFI'AL-KHOLQI HABIIBALLOOHI " SHOLAATUHUU'ALAIKA MA'SALAAMIHII,
DHOLLAT WA DHOLLAT HIILATII FII BALDATII " KHUDZ BIYADII YAA SAYYIDII WAL UMMATII ....... (3x)

Duhai Kanjeng Nabi penberi Syafa’at makhluq, duhai Kanjeng Nabi Kekasih Alloh ¨ Kepangkuan-MU sholawat dan salam Alloh aku sanjungkan ¨ jalanku buntu, usahaku tak menentu buat kesejahteraan negriku ¨ cepat, cepat, cepat raihlah tanganku Yaa Sayyidii tolonglah diriku dan seluruh ummat ini.
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !....... (7x) 
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
YAA ROBBANALLOOHUMMA SHOLLI SALLIMI " ‘ALAA MUHAMMADIN SYAFII'IL UMAMI,
WAL-AALI WAJ-‘ALIL ANAAMA MUSRI'IIN " BIL-WAAHIDIYYATI LIROBBIL-‘AALAMIIN
YAA ROBBANAGH-FIR YASSAIR IFTAH WAHDINAA " QORRIB WA-ALLIF BAINANAA YAA ROBBANAA....... (3x)
Yaa Tuhan kami Yaa Alloh, limpahkanlah Sholawat dan Salam ¨ atas Kanjeng Nabi Muhammad pemberi Syafa’at ummat ¨ dan atas keluarga Beliau, dan jadikanlah ummat manusia cepat-cepat lari, ¨ lari kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan Semesta alam, ¨ Yaa Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, permudahkanlah segala urusan kami, bukalah hati dan jalan kami, dan tunjukilah kami ¨ , pereratlah persaudaraan dan persatuan diantara kami, Yaa Tuhan kami.
ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH YAA ALLOH, WA FII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOH !....... (7X)
Yaa Alloh limpahkanlah berkah didalam segala makhluq yang engkau ciptakan, dan didalam negri ini Yaa Alloh, dan didalam mujahadah ini Yaa Alloh
I S T I G H R O O Q ! ( Diam tidak membaca apa-apa, segenap perhatian lahir bathin, fikiran dan perasaan dipusatkan hanya kepada ALLOH! Tidak ada acara selain ALLOH ) ALFAATIHAH ! (1X) Kemudian berdo'a seperti di bawah ini
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM,
( ALLOOHUMMA BIHAQQISMIKAL A'DHOM WABIJAAHI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM WABIBARAKATI GHOUTSI HADZAZ-ZAMAAN WA A'WAANIHI WA SAAIRI AULIYAAIKA YAA ALLOH, YAA ALLOH, YAA ALLOH, RODLIYALLOOHU TA'AALA'ANHUM 3X )
Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang( Yaa Alloh, dengan hak kebesaran Asma-MU, dan dengan kemuliaan serta keagungan Kanjeng Nabi Mahammad Sollallohu ‘Alaihi WaSallam, dan dengan Barokahnya Ghoutsu Hadhaz Zaman wa A’wanihi serta segenap Auliya’ Kekasih-MU Yaa Alloh, Yaa Alloh Rodiyallohu Ta’ala Anhum
( BALLIGH JAMII'AL ‘ALAMIIN NIDAA-ANAA HAADZAA WAJ'AL FIIHI TAKTSIIROM-BALIIGHOO 3X )
Sampaikanlah seruan kami ini kepada jami’al Alamin dan letakkanlah kesan yang sangat mendalam
( FAINNAKA ‘ALAA KULLI SYAI-INGQODIIR WABIL IJABATI JADIIR 3X )
Maka sesungguhnya engkau Maha Kuasa berbuat segala sesuatu dan Maha Ahli memberi ijabah
FAFIRRUU ILALLOOH ! .......(7X) = Larilah kembali kepada Alloh ! 
WAQUL JAA-ALHAQQUWAZAHAQOL BAATHIL INNAL BAATHILA KAANA ZAHUUQOO !....... (3X)
Dan katakanlah (wahai Muhammad) perkara yang hak telah datang dan musnahlah perkara yang batal, sesungguhnya perkara yang batal itu pasti musnah.Al-Fatihah ( membaca surat Al-Fatihah satu kali )
FAFIRRUU ILALLOH dan WAQUL JAA-ALHAQQU… dibaca bersama-sama imam dan ma'mum. Maknanya : Larilah kembali kepada Alloh ! Dan semoga akhlaq=akhlaq batal yang rusak dan merusakkan segera diganti oleh Alloh dengan akhlaq yang baik dan yang menguntungkan! Kedua ajakan tersebut ditujukan kepada segenap masyarakat manusia dan jin seluruh dunia, terutama ditujukan kepada pribadi si pembaca sendiri!
A L F A A T I H A H (1X) S e l e s a i
Read more »»  

Selasa, 29 Mei 2012

Ketika Sahabat Bilal RA Merindukan Baginda Rasululloh SAW

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



Secepat kilat ia meraih tunggangannya. Meluncur menuju Madinah Al-Munawarah. Sesampai di kuburan Rasulullah, tanpa terasa air matanya tumpah. Ia bolak-balikkan wajahnya di atas pusara kekasihnya (Nabi SAW).

Setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun ke-11 H, Bilal merasakan hari-harinya dipenuhi dengan kerinduan dan kenangan hidup yang mendalam bersama Nabi. Tak tahan itu terus mengganggu hari-harinya, ia pun berhijrah ke Syam (Suriah, sekarang). Namun, kenangan dan kerinduannya akan Rasul selalu ada dalam benaknya.

Suatu malam, ia bermimpi. Orang yang dikasihinya hadir dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Rasul bertanya kepadanya. “Kebekuan apakah ini hai Bilal? Bukankah sudah waktunya engkau mengunjungiku?” Maksudnya sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal.
Read more »»  

Resensi Qawâ’id Usul fiqh

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Judul Buku : Qawâ’idu al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm
Penulis        : Abû Muhammad ‘Izzuddîn Ibn’Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al-Sâlâm (578-660 H)
Pentahqîq   : Mahmûd ibn al-Talâmîdz al-Syinqîthî
Penerbit      : Dâr al-Ma’rifah Beirut
Halaman    : 208

Mengkaji kitab ini, sama saja kita mengamati titik awal matanganya Qawâ’id Fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri, setelah sebelumnya sempat bersatu, atau dikesankan sama, dengan Ushul Fiqih dalam madzhab Hanafiah. Disiplin ilmu yang terakhir disebut ini, kita tahu, mengalami perkembangan yang berlika-liku, lintas madzhab, dan pernah mengalami semacam fusi dan difusi terhadap disiplin ilmu lain dan dalam dirinya sendiri. Ushul Fiqih pernah diproklamirkan oleh sebagian ulama bak lahan tempat menguak semua petunjuk lafadz Quran-Sunnah secara multidispliner—dengan kata lain, tersusun dari semua cabang ilmu demi melayani Teks. Kecenderungan fusi semacam ini menguat, mengingat doktrin agama percaya bahwa Quran-Sunnah, sebagaimana misi Islam, akan selalu sesuai sepanjang zaman dan bagi seluruh orang—karena itu, sangat logis untuk mengatakannya “merangkum” seluruh intisari ilmu sepanjang zaman.

Namun, seperti bisa kita tebak, pendapat itu sulit diejawantahkan dan dengan segera Ulama lain mengkritik dan me-rekaulang bagaimana ia harus diposisikan. Maka terjadilah difusi: nahwu, sharaf, balaghah, logika, dan juga qawâ’id fiqhiyyah akhirnya dilepaskan dari Ushul Fiqih, kecuali sebagian kecil yang wajar sekali dibutuhkan.

Kita juga tahu, kitab karya satu-satunya orang yang berjuluk “Raja Para Ulama” ini bukanlah kitab Kaedah Fiqih pertama dalam sejarah Fiqih Islam. Sebelumnya, berderet kitab-kitab keren oleh para ulama beken, dari madzhab Hanafiah dan Malikiah. Diantara yang bisa terlacak sejarah hingga kini adalah Abû al-Hasan al-Karkhî (w. 340) dari Hanafiah dengan Ushûl al-Karkhî, al-Khusynî (w. 361) dari Malikiah dengan Ushûl al-Futyâ fî al-Fiqh ‘alâ Madzhab al-Imâm Mâlik, dan Abû Zaid al-Dabûsî (w. 430) sekali lagi dari Hanafiah dengan Ta`sîs al-Nadhar. Dari Syafi’iah sebenarnya pernah terbit kitab sejenis oleh Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Jâjarmî al-Sahlakî (w. 613) dengan judul al-Qawâ’id fî Furû’ al-Syâfi’iyyah. Namun, dengan munculnya al-Qawâ’id al-Kubrâ, nama lain dari Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, oleh al-‘Izz (singkatan dari ‘Izzuddîn ibn ‘Abd al-Salâm) yang lebih komplit, maka yang terakhir ini disebut sebagai yang terpenting dari Kaedah Fiqih awal dalam Syafi’iah.

Sebelum menbedah isi kitab, izinkanlah saya melanjutkan lebih lanjut uraian tentang dalam cabang mana kitab ini ditulis.

Bukan karena Abû al-Hasan al-Karkhî yang pertama menerbitkan kitab sejenis ini, lantas dikatakan bahwa sebelumnya tak ada sama sekali bibit kaedah fiqih. Namun, sebagaimana hikayat dari al-‘Alâî al-Syâfi’î (w. 761), al-Suyûthî (w. 911), dan Ibn Najîm (w. 970), bibit pokok kaedah tebesar dalam cabang ini, yang kemudian disebut al-Qawâ’id al-Kulliyyah al-Kubrâ, yang sangat terkenal berjumlah lima itu, terlontar dari mulut ulama Hanafiah, Abû Thâhir al-Dabbâs. Konon, Abû Sa’d al-Harawî al-Syâfi’î pernah menjenguk al-Dabbâs ketika sakit, mendengarnya mengulang-ulang tujuhbelas kaedah pokok ala madzhab Abû Hanîfah yang ia kumpulkan, tiap malam selepas jama’ah bubar dari masjidnya. Diantara yang kemudian begitu masyhur dan disepakati dalam semua madzhab ada lima: al-Umûr bi Maqâshidihâ, al-Yaqîn lâ Yazûlu bi al-Syakk, al-Masyaqqah Tajlib al-Taisîr, al-Dlarar Yuzâl, dan al-‘Âdah Muhakkamah.

Dengan mempelajari lebih lanjut cabang ilmu ini beserta sejarahnya, kita akan tahu, seringkali oleh para Fuqaha` ia dibuat menghukumi masalah seperti sebuah dalil bekerja. Kita tahu, dalam Ushul Fiqih, hanya yang punya landasan Quran-Sunnah, secara jelas maupun lewat qiyas, yang bisa dibuat landasan hukum. Lalu bagaimana kaedah ini? Termasuk bid’ah-kah????

Kita akan dengan mudah terperosok pada klaim mengerikan ini—diantara kita semua, apalagi kita, tak akan sulit mengingat kembali ancaman neraka bagi pelaku bid’ah, apapun itu, dalam sebuah Hadits Nabi—bila tak kembali pada sejarah masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in, bahkan Tabi’ut Tabi’in. Apalagi, setelah diteliti ulang, bukannya al-Dabbâs atau Abû Hanîfah berbuatngawur dengan membuat dalil tandingan Quran-Sunnah. Tapi, tiap butir dari lima Kaedah Universal Fiqih itu terkait dengan satu atau lebih ayat Quran atau Sunnah. Sehingga wajar sebagian ulama, seperti Imam al-Haramain dan Ibn Najîm, secara implisit tak menganggapnya sebagai dalil mandiri, pengganti Quran-Sunnah. Namun, karena kelimanya terkait begitu erat dengan dalil yang sesungguhnya, maka tak mengurangi keabsahannya dalam menghukumi suatu masalah.

Pada masa Nabi, ditemukan banyak sekali Sunnah yang berkarakter kaedah semacam ini. Diantara yang paling tekenal adalah Lâ Dlarar wa lâ Dlirâr. Oleh para Fuqaha` Sahabat, Sunnah-sunnah kaedah semacam ini dibuat menghukumi begitu banyak masalah, bahkan melampaui konteks ketika Sunnah itu keluar. Para Sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththâb ra dan ‘Ali ibn ‘Abd al-Muththalib kw, juga kerap mempermudah memahami hukum suatu masalah dengan membingkainya dalam bentuk kaedah. Tradisi ini kemudian berlanjut pada masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in sampai masa Imam Madzhab Empat. Nampaknya, sekarang kian bermunculan kitab-kitab yang melacak secara khusus, dari sela-sela kitab fiqihnya, beragam kaedah fiqih dari al-Syâfi’î dan Ibn Hanbal, misalnya.

Jika kemudian saya berkata setelah uraian agak detil ini, itu bahwa tradisi berkaedah fiqih bukanlah hal yang baru dalam Islam. Sehingga klaim bid’ah, dalam hal ini, otomatis salah sasaran.

Masuk isi kitab dan menelaahnya, kita akan merasa dan tahu alasan kenapa kitab Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm ini, oleh ulama dan sejarawan, dibuat bukti paling kuat bahwa sang pengarangnya, ‘Izzuddîn ibn ‘Abd al-Salâm, dimasukkan dalam deretan ulama Maqâshid al-Syarî’ah, sebelum puncaknya jatuh di tangan al-Syâthibî pada abad ketujuh Hijriah. Dalam kitab ini, ia mengembalikan semua hukum Syari’at pada kaedah Dar`u al-Mafâsid wa Jalb al-Mashalih (Mencegah Kerusakan dan Menarik Kemaslahatan). Allah tak memerintahkan sesuatu kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan, sebagaimana Allah tak melarang sesuatu kecuali untuk mencegah kerusakan.

Dari kitab ini kita merasa bahwa al-‘Izz berusaha menguak apa yang ada di balik beragam hukum Syari’at. Menurutnya, seperti lebih lanjut akan kita ketahui secara implisit, hukum-hukum Syari’at yang bervariasi dan sangat menyentuh nyaris seluruh aspek kehidupan manusia, dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit sekalipun, bukannya tak berkaitan satu sama lain. Namun, dalam kerumitan itu, terdapat benang merah bahwa kesemuanya tak diturunkan dari langit kecuali demi mewujudkan maslahat hidup. Apa yang dilakukan al-‘Izz dalam kitab ini bisa kita katakan masuk tataran Takwil, atau dengan bahasa lebih filosofis, Hermeneutika.

Langkah hermeneutik ini terlihat ketika ia menyetir ayat يا أيها الذين أمنوا dalam bab mengenai penjelasan tujuan kitab, seraya berkata bahwa segala kerusakan yang dijelaskan dalam Quran, sebagai Kitab Suci umat Islam, tak diabadikan kecuali untuk selalu dianjurkan menjauhinya. Sebagaimana segala kemaslahatan yang dijelaskan dalam Quran tak diabadikan kecuali untuk selalu dianjurkan memenuhinya.

Langkah ini menurut penulis sangat revolusioner. Karena dengan pendapatnya diatas, seakan Raja Para Ulama ini membuat ayat-ayat Quran lebih hidup, langsung berinteraksi dan lebih akrab dengan manusia: anjuran menjauhi kerusakan tak perlu lagi menunggu fi’il nahy, tapi cukup dengan diuraikannya kerusakan dan akibat buruknya bagi hidup; begitu pula terhadap kemaslahatan, tak perlu lagi menunggu fi’il amr.

Namun, meskipun begitu hidup, agaknya kita harus membedakannya dengan apa yang dilakukan oleh al-Ghazâli dalam Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn. Bila yang dilakukan al-‘Izz disini lebih mengarah pada rasionalisasi hukum Syari’at, karenanya wilayah mu’amalat lebih dominan dari yang lain, maka al-Ghazali dalam al-Ihyâ`, sebagaimana ia merupakan kitab bergenre Tasawuf praksis, lebih fokus pada wilayah aqidah dan ibadah dan apa saja yang berkaitan dengan pembersihan hati untuk menuju Sang Dambaan Hati—meski diakui, sesekali juga merasionalisasi hukum mu’amalat.

Dari segi penerbitan, kitab yang sebenarnya luar biasa ini agak ternodai secara ilmiah karena percetakan Dâr al-Ma’rifah Beirut, tak menyertakan tahun penerbitan. Mungkin pada zaman dahulu hal semacam ini tak bermasalah, karena industri penerbitan dan gerakan Tahqîq al-Turâts (Penelitian Turats) secara ilmiah tak semarak seperti sekarang ini, tapi zaman ini? Selain itu, Penerbit juga tak melampirkan sebagian scanned print-out dari naskah asli kitab ini ditemukan, kecuali hanya menyebut sekilas, di halaman judul, bahwa terbitan ini berasal dari naskah telaahan yang ditulis oleh seorang Ahli Bahasa, Mahmûd ibn al-Talâmîd al-Syinqîthî, dan ditemukan dari perpustakaan Turats terkenal di Mesir, Dâr al-Kutub al-Mulkiyyah al-Mishriyyah. Kitab cetakan ini juga tak menyertakan Kata Sambutan dari Penerbit dan Metodologi Pentahqîq, cetakan keberapa, sekaligus kru yang berada di balik percetakan, apalagi jenis kertas yang dipakai, ukurannya, beratnya, dan jumlah total halamannya. Meskipun demikian, penulis memberanikan diri mengambil kitab cetakan ini sebagai objek resensi, namun dengan konsekuensi akan menjelaskannya dalam tulisan, seperti yang sudah Anda baca baru saja.

Alâ kulli hâl, bagi pembaca yang pernah membaca kitab-kitab Kaedah Fiqih lain, ketika membaca Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm ini akan melihat betapa jelas sumbangsih ijtihad ‘Izzuddîn ibn ‘Abd al-Salâm bagi Fiqih dan Ushul Fiqih sekaligus. Pembaca juga akan merasa betapa hidup dan leluasa uraiannya dalam kemungkinannya ditarik ke wilayah yang lebih luas dan universal: filsafat hukum. Apa yang bisa didapat bagi seorang muslim-muslimah setelah itu adalah pegangan kuat untuk dibuat merenungi ayat-ayat Quran dan menarik hukum-hukum praktis keseharian dari sana secara langsung.
Wallohu A'lam,.
Read more »»  

Kholaf penerus Salaf

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Sekitar Istilah Salaf dan Khalaf

Di Antara gejala buruk yang berlaku dalam bidang ilmu agama adalah munculnya golongan yang mengaku lebih memahami manhaj salaf di banding para ulama' sebelum mereka yakni ulama yang di sebut "khalaf". Untuk menjadikan diri mereka berhak mengetahui siapa sebenarnya salaf dan apa sebenarnya manhaj salaf, maka mereka menamakan diri mereka  dengan nama "salafi", yaitu orang yang mengikut jejak salaf.

Ketidak tauan Terhadap Istilah

Golongan intelektual yang setengah matang yang muncul dalam lapangan intelektual Islam terpaksa menciptakan terminologi-terminologi (mustalahat) baru untuk mengelabui golongan yang lebih jahil daripada mereka. Lalu, mereka menggunakan istilah tertentu  dengan takrif/definisi baru yang menyimpang dari penggunaan asalnnya dengan tujuan untuk mendominasi dan memonopoli istilah tersebut.

Maka, muncullah terminologi seperti "salafi", "khalafi" dan sebagainya yang mana sebelumnya, para ulama' hanya menggunakan istilah khalaf dan salaf saja.

Salafi  menurut golongan (baru) ini adalah: "orang2 yang mengikuti manhaj salaf".

Khalafi menurut golongan (baru) ini adalah: "orang yang tidak mengikut manhaj salaf".

Padahal, istilah salaf dan khalaf yang digunakan oleh para ulama' secara sepakat sebelum munculnya golongan ini adalah:

Salaf: Generasi yang hidup dalam kurun pertama sehingga kurun ketiga hijrah, atau sampai kurun kelima hijrah. pendapat Paling kuat adalah, sampai kurun ketiga hijrah.

Khalaf: Generasi yang hidup setelah kurun ketiga atau kelima hijrah.

Maka, istilah salaf dan khalaf dalam penggunaan asal dari para ulama' tidak pernah di maksudkan  sebagai suatu perbedaan manhaj, tetapi lebih di maksudkan pada perbedaan tempo masa. Sampai pada masa munculnya golongan yang mengaku sebagai salafi, yang padahal mereka hanyalah meneruskan semangat Ibn Taimiyyah yang sering mengaku lebih memahami salaf di banding dengan ulama'-ulama' lain sebelumnya atau yang sezaman dengannya khususnya dari kalangan Asya'irah yang dianggap kurang memahami manhaj salaf, lalu memulai usaha menamakan diri sebagai salafi dan lalu menamakan selain mereka sebagai khalafi.

Dengan usaha mereka ini, mereka mencetuskan suatu perkembangan di mana golongan ulama' yang berlainan faham dengan mereka dianggap tidak mengikuti salaf walaupun para ulama' tersebut adalah majoritas ulama' Islam. Bagi mereka, tokoh-tokoh yang memahami "salaf" yang sebenarnya hanyalah beberapa individu saja seperti Sheikh Ibn Taimiyyah, Sheikh Ibn Al-Qayyim, Sheikh Muhammad Abdul Wahab dan sebagainya.

 Sedangkan, majoritas ulama' lain yang beraliran Asya'irah dan Maturidiyyah dalam bidang aqidah adalah "khalafi" yang tidak mengikut mazhab dan manhaj Salaf yang sebenarnya. Sebagai contoh, muncullah sautu situasi di mana seorang insan yang mungkin hanya seorang pekerja , mengaku lebih memahami salaf di banding Hujjatul Islam, Al-Imam, Al-Mujtahid, Al-Faqih, Al-Usuli Sheikh An-Nizhamiyyah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang merupakan mudir sebuah madrasah terbesar di zaman beliau iaitulah Al-Madrasah An-Nizhamiyyah.

 pada Situasi yang lain pula muncul seorang insan kerdil yang tidak mengenal perbedaan antara mubtada' dengan khabar, lalu mengaku lebih mengikut Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah aqidah ,di banding Al-Imam Al-Hafiz Al-Muhaddith Amirul Mu'minin fi Al-Hadith Ibn Hajar Al-Asqollani, pensyarah kitab Sahih Al-Bukhari, hanya di karanakan Imam Ibn Hajar mempunyai pendirian dengan aqidah manhaj Al-Asy'ari.

Lihatlah ukuran peristiwa-peristiwa ini. Tidak adakah suatu bid'ah yang lebih besar daripada bid'ah seperti ini? maka Ungkapan: saya "salafi", bahkan lebih "salafi" daripada Al-Imam Al-Ghazali (hidup tahun 450 Hijrah dan meninggal dunia tahun 505 Hijrah), bahkan lebih memahami sunnah dan bid'ah di banding Al-Imam As-Syafi'e (150-204 H), seolah-olah hal semacam ini berkumandang secara lisan ha oleh pengikut golongan ini.

Khalaf adalah Penerus Manhaj Salaf

Seseorang perlu mengetahui bahawasanya yang dimaksudkan sebagai "Khalaf" adalah para ulama' yang hidup setelah berlalunya zaman salaf yang meneruskan manhaj umum para ulama' salaf. Khalaf tidak pernah di artikan dengan suatu golongan ulama' yang berbeda dengan ulama'-ulama' salaf dari sudut aqidah, manhaj fiqh dan akhlak.

Istilah salaf sendiri berarti:

 سَلَفَ يَسْلُفُ سَلَفاً وسُلُوفاً: تقدَّم


 Maksudnya: Salaf: Taqaddam yaitu terdahulu. [Lisan Al-'Arab, madah salafa]

 والسَّلَفُ والسَّلِيفُ والسُّلْفَةُ: الجماعَةُ المتقدمون


 Maksudnya: "As-Salaf, As-Salif dan As-Sulfah: Golongan Terdahulu [ibid]

 Jadi, seseorang yang mengaku sebagai "salafi" secara bahasa berarti orang yang terdahulu. Sepatutnya sudah tidak hidup lagi karana sudah sepatutnya digantikan oleh orang yang kemudian. Oleh karana itulah para ulama' salaf tidak menyebut diri mereka sebagai "salafi" ketika mereka hidup karena para ulama' khalaflah yang memanggil mereka sebagai ulama' salaf karana mereka telah berlalu dan mendahului generasi kemudian.

 Khalaf berarti generasi yang ditinggalkan setelah generasi terdahulu. Ia berasal dari perkataan khalafa yang berarti ke belakang atau kemudian.

 الخَلْفُ ضدّ قُدّام

 Maksudnya: Khalfu adalah lawan bagi Quddam ( terdahulu) [Lisan Al-'Arab, madah: khalafa]

 Seseorang tidak akan dinamakan sebagai khalaf dari sesuatu melainkan dia penerus apa yang dilakukan oleh orang terdahulunya. Maka, dinamakanlah para ulama' khalaf sebagai khalaf karana mereka meneruskan apa yang dipegang oleh ulama' salaf, bukan karana mereka berbeda dengan salaf. Orang yang memahami bahwa ulama' khalaf berbeda dengan ulama' salaf dari sudut pegangan dan femahaman agama yang usul itu adalah suatu femahaman batil terhadap maksud khalaf itu sendiri.

 Rasulullah s.a.w. sendiri memuji generasi khalaf ini yang meneruskan usaha menjaga kemurnian agama daripada golongan jahil dan batil.

 Rasulullah s.a.w. bersabda:

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المبطلين، وتأويل الجاهلين


 Maksudnya: "Ilmu ini akan dipikul oleh setiap khalaf (orang yang kemudian) dari kalangan yang adil daripadanya, yang menafikan tahrif (penyelewengan) orang yang melampaui batas , kepincangan golongan pembuat kebatilan dan takwilan dari orang-orang jahil".

 [Hadith diriwayatkan secara mursal dalam sebahagian riwayat (Misykat Al-Mashabih) dan disambung secara sanadnya kepada sahabat kepada Rasulullah s.a.w. oleh Al-Imam Al-'Ala'ie. As-Safarini mengatakan  sahih dalam kitab Al-Qaul Al-'Ali m/s: 227]

Ulama' Khalaf adalah "Salaf" (Pengikut Salaf) Pada Generasi Setelah Zaman Salaf

 Kita perlu menyadari hakikat ini, dengan menyusuri sejarah dan lembaran tulisan ulama' tentang hakikat bahawasanya majoritas ulama' khalaf sebenarnya adalah penerus manhaj dan faham ulama' salaf dalam bidang agama. Nama-nama seperti Asya'irah, Maturidiyyah dan sebagainya dalam bidang aqidah adalah suatu tradisi yang sama seperti hal nama-nama Syafi'iyyah, Malikiiyyah, Ahnaf dan Hanabilah dalam bidang fiqh. Ia tidak lebih daripada himpunan manhaj yang seragam dan perkembangan kaedah pendalilan (istidlal) dalam sesuatu bidang ilmu, bukan suatu penyimpangan atau berlaianan daripada apa yang difahami oleh salaf. Hatta yang mengaku "Salafi" juga adalah berlainan daripada salaf itu sendiri.

Oleh sebab itulah, banyak tokoh-tokoh Asya'irah dalam bidang aqidah menulis kitab-kitab aqidah lalu menisbahkan aqidah mereka kepada as-salaf as-sholeh. Antaranya adalah:

Al-Imam Al-Hafiz Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi Al-Asy'ari yang menulis kitab berjudul:

 الاعتقاد علي مذهب السلف اهل السنه و الجماعه

(Al-I'tiqad 'ala Mazhab As-Salaf Ahl As-Sunnah wal Jamaah yang maksudnya: Kepercayaan  aqidah berteraskan mazhab Salaf ahli sunnah wal jamaah).

 Sudah pasti kitab ini mengandungi pembahasan-pembahasan aqidah secara manhaj Asya'irah, namun di sisi Al-Imam Al-Baihaqi,  itu tidak lain melainkan aqidah mazhab Salaf juga. Jadi, Asya'irah juga adalah "Salafiyyah" (jika ingin menggunakan istilah sekarang) pada asalnya, bahkan lebih awal ke"Salafiyyah"an mereka di banding Salafiyyah Wahabiyyah yang muncul kemudian.

Begitu juga Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang menulis kitab berjudul:
Iljam Al-Awam 'An Ilm Al-Kalam

Dalam kitab tersebut menjelaskan manhaj salaf yang sebenarnya dalam berinteraksi dengan ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat dengan cara tafwidh. Beliau menisbahkan manhaj ini (walaupun beliau sebagai di antara ulama' Asya'irah) kepada manhaj As-Salaf AS-Sholeh. Dalam Muqoddimah kitab ini, Al-Imam Al-Ghazali mengkritik Hasyawiyyah yang memahami nas-nas yang dhahirnya tasybih secara dhahir, lalu mengaku bahwa itu sebagai aqidah salaf, kemudian beliau menjelaskan manhaj as-salaf yang sebenarnya secara manhaj asy'ari. Maka, Al-Ghazali juga menetapkan ke"salafi"an beliau tanpa mengaku "salafi".

 Oleh sebab itu, tokoh besar Al-Azhar AS-Syarif, Sheikh Abu Zahrah menjelaskan permasalahan Asya'irah, Maturidiyyah, Ibn Taimiyyah dan Wahabi dalam masalah aqidah di mana mereka berusaha mengaku siapa lebih memahami as-salaf yang sebenarnya. Kemudian, Sheikh Abu Zahrah menguatkan pendapat bahawasanya, cara Al-Imam Al-Ghazali (Asya'irah) dan Maturidiyyah dalam memahami Salaf lebih tepat di banding cara Ibn Taimiyyah memahami salaf dalam masalah aqidah. [Rujuk kitab Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyyah]

Mengaku "Salafi" Adalah Bid'ah yang Bahaya

 Maka, benarlah kesimpulan yang dibuat oleh tokoh besar yaitu Sheikh Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buti dalam kitab As-Salafiyyah, bahawasanya bermazhab dengan mazhab salafi adalah suatu bid'ah yang bahaya. Silahkan rujuk di sini: http://www.dahsha.com/uploads/SalafyyaBouti.pdf

Ini karena itu,mereka menyimpulkan beberapa perkara:
As-Salaf itu bukan semata-mata suatu zaman yang diberkati, tetapi suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. Padahal, keseragaman manhaj dalam bidang agama tidak berlaku dalam keseluruhan salaf. Dalam bidang fiqh saja ada perbedaan antara Ahl Hadith dengan Ahl Ra'yi. Dalam bidang aqidah juga berbeda-beda manhajnya. Al-Imam Ahmad berbeza dengan Al-Imam Al-Muhasibi dan Ibn Kullab. Begitu juga Al-Imam Al-Bukhari berbeda dengan Al-Imam Ahmad dalam masalah lafaz Al-Qur'an. Begitu juga masalah-masalah lain. Jadi, tidak ada namanya mazhab salaf dalam arti kata bahwa itu suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. As-Salaf dalam istilah yang sebenar nya hanyalah suatu tempo masa yang diberkati.

mereka seolah-olah mengeluarkan selain "salafiyyah" daripada pengikut salaf yang sebenarnya. Oleh karena itulah, munculnya Salafiyyah Wahabiyyah yang menafikan Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya sebagai pengikut salaf yang sebenarnya. Salafiyyah Wahabiyyah telah memenangkan dominasi slogan "mengikuti salaf", lalu menganggap selain mereka sebagai :"tidak mengikuti salaf". Ini suatu prasangka yang bahaya karana tidak mengikut salaf dalam masalah usul agama berarti tidak mengikut Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini adalah tuduhan yang sangat bahaya. Oleh karana itulah, banyak orang jahil menganggap bahwa para ulama' Asya'irah, MAturidiyyah dan Sufiyyah tidak mengikut aqidah sebenar Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini membawa kepada menuduh sesat selain yang mengaku "salafi".

Padahal, Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya yang masih dalam lingkungan mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah hanya berbeda dari sudut manhaj dan pendekatan dalam bidang agama, bukan berbeda isi kandungan femahaman agama dengan as-salaf. Pendekatan dan manhaj adalah suatu yang berkembang mengikut zaman sebagaimana juga munculnya mazhab fiqh pada awal kurun ketiga hijrah lalu diteruskan hingga hari ini. Tidak boleh seseorang mengatakan mazhab syafi'e, atau mazhab maliki, bukan fiqh Rasulullah s.a.w, karana mazhab adalah himpunan cara ulama' memahami dalil-dalil yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w..

Maka, tidak perlu mengaku "salafi" untuk dinilai sebagai mengikut as-salaf as-sholeh. Ukurannya jelas yaitu dengan memahami agama mengikut femahaman as-salaf as-sholeh. dengan meRujuk kitab-kitab ulama' salaf sendiri. Bukan sekadar merujuk satu dua tokoh yang ada kemudian yang mengaku bahwa hanya mereka saja yang memahami salaf. ini Adalah suatu hal yang pincang apabila seseorang menjelaskan tentang manhaj salaf namun rujukannya bukan salaf seperti Sheikh Ibn Taimiyyah dan Muhammad Abdul Wahab sedangkan banyak lagi tulisan para ulama' salaf muktabar yang bisa dirujuk. Sheikh Ibn Taimiyyah tidak mesti tepat dalam memahami maksud dan isi perkataan dan femahaman salaf dalam semua masalah dan juga para ulama' lain tidak mesti tidak memahami salaf yang sebenarnya. Banyakkanlah bahan kajian agar kita jujur dalam membuat kajian.

 Disusun dengan bantuan Allah s.w.t.
Read more »»  

Hizb Daorul a'la

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

 اللهم يا حىّ يا قـيـوم بك تحـصـنت فاحـمنى بحـماية كفاية وقاية حـقـيـقـة برهان حـرز أمان بِسْمِ اللَّـهِ

 وأدخلنى يا أول يا آخـر مكنون غـيـب سـر دائرة كنز مَا شَاءَ اللَّـهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّـهِ

 وأسبل علىَّ يا حليم يا ستار كنف ستر حجاب صيانة نجاة وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّـه

 وإبن يا محيط يا قادرعلىَّ سـورا من إحاطة مجـد سرادق عـزعـظـمة ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّـهِ

 وأعـذنى يا رقـيب يا مجـيب واحـرسنى فى نفـسى ودينى وولدى وأهلى ومالى بكلاءة إعاذة إغاثة إعانة وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ

 وقـنى يا مانع يا دافع بأسمائك وكلماتك وآياتك شـر الشيطان والسلطان فإن ظالم أو جبار بغى علي أخذته غَاشِيَةٌ مِّنْ عَذَابِ اللَّـهِ

 ونجـنى يامذل يا منتقـم من عـبيدك الظالمين الباغـين علىَّ وأعـوانهم فإن هم لي أحـد منهم بسـوء خـذله الله وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّـهِ

 واكفنى يا قابض يا قهار خـديعـة مكـرهم وارددهم عـنىِ مذمومين مذءومين مدحـورين بتخــسـير تغـييـر تدمير فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّـهِ

 وأذقنى يا سـبـوح يا قـدوس لذة مناجاة أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ فى كنف الله

 وأذقهم يا ضار يا مميت نكال وبال زوال فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّـهِ

 وآمنى يا سلام يا مؤمن صولة جـولة دولة الأعـداء بغاية بداية آية لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّـهِ

 وتوجـنى يا عـظـيم يا معـز بتاج كبرياء سلطان ملكـوت عـز عـظـمة وَلَا يَحْزُنكَ قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّـهِ

 وألبسنى ياجليل ياكبير خـلعـة إجـلال إكمال إقبال فلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّـهِ

 وألق يا عـزيز يا ودود علىَّ محـبة منك فتنقاد وتخـضع لى قلوب عـبادك بالمحـبة والمعـزة والمودة من تعـطيف تلطيف يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّـهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّـهِ

 وأظـهـر اللهم علىَّ يا ظاهـر ياباطن آثار أسـرار أنوار يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ

 ووجـه اللهم ياصمد يا نور وجهى بصفاء جـلال جـمال إشـراق فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّـهِ

 وجـملنى يا بديع السموات والأرض يا ذا الجـلال والإكـرام بالفـصاحة والبراعة والبلاغة وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي برأفة رقة ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّـهِ

 وقـلـدنى يا شـديد البطـش يا جـبار بسـيـف الهيبة والـشـدة والقـوة والمنعـة من بأس جـبـروت عـزة ومَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ اللَّـهِ

 وأدم علىَّ يا باسـط يا فـتاح بهـجـة مـسـرة رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي بلطائف عـواطـف أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ وببـشـارة إشـارة وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ بِنَصْرِ اللَّـهِ

 وأنزل اللهم يا لطـيـف يارءوف بقـلبى الإيمان والإطمئنان والسكينة لأكون من الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّـهِ

 وأفـرغ علىَّ يا صـبـور يا شكـور صـبر الذين تدرعـوا بثبات يقين تمكين كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّـهِ

 واحـفـظـنى يا حـفـيـظ يا وكيل من بين يدى ومن خلفى وعن يمينى وعـن شمالى ومن فـوقى ومن تحـتى بوجـود شهـود جـنود لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّـهِ

 وثبت اللهم يا قائم يا دائم قـدمى كما ثبت القائل وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُم بِاللَّـهِ

 وانصـرنى يا نعـم المولى ويا نعـم الـنـصـيـر نصـر الذي قـيل له أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّـهِ

 وأيدنى يا طالب يا غالب بتأييد نبيك محـمـد صلى الله عـليه وسلم المؤيد بتعـزيز توقـير إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِّتُؤْمِنُوا بِاللَّـهِ

 واكفنى يا كافى الأسـواء يا شافى الأدواء بعـوائد فـوائد لَوْ أَنزَلْنَا هَـٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّـهِ

 وامنن علي يا وهاب يا رزاق بحـصـول وصـول قـبـول تـيـســيـر تدبيـر تـسـخـيـر كُلُوا وَاشْرَبُوا مِن رِّزْقِ اللَّـهِ

 وألزمنى يا واحـد يا أحـد كلمة التوحـيـد كما ألزمت حبيبك فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا اللَّـهُ

 وتولنى يا ولىّ ياعلىّ بالولاية والعـناية والرعاية والسلامة بمزيد إيراد إسعاد إمداد ذَٰلِكَ مِن فَضْلِ اللَّـهِ

 وأكرمنى يا كريم يا غـنىّ بالسعادة والسيادة والكرامة والمغـفـرة كما أكرمت الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِندَ رَسُولِ اللَّـهِ

 وتب علىَّ يا تواب يا حليم توبة نصوحا لأكون من الَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّـهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّـهُ

 واختم لي يا رحمن يا رحيم بحسن خاتمة الناجين والراجين يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ

 واسكنى ياسميع يا قريب جَنَّةِ عَدْنٍ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّـهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّـهِ

 يَا الله يَا الله يَا الله يَا الله
 يَا نَافِعُ يَا نَافِعُ يَا نَافِعُ يَا نَافِعُ
 يَا رَّحْمَـٰنُ يَا رَّحْمَـٰنُ يَا رَّحْمَـٰنُ يَا رَّحْمَـٰنُ
 يَا رَّحِيمُ يَا رَّحِيمُ يَا رَّحِيمُ يَا رَّحِيمُ
 أسالك بحـرمة هذه الأسماء والآيات والكلمات سلطانا نصيرا ورزقا كثيرا وقلبا قريرا وعلما غزيرا وعملا بريرا وقبرا منيرا وحسابا يسيرا وملكا في الفردوس كبيرا وصلِّ الله على سيدنا محمد النبى الأمى وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
Read more »»  

Fadhilah surat al ikhlas

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ’ala Rosulillah wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Al-Quran Setelah kita mengetahui tafsiran surat Al Ikhlash ini, maka sangat bagus sekali jika kita mengetahui keutamaan surat ini dan kapan saja kita dianjurkan membaca surat ini. Silakan menyimak pembahasan berikut ini.



[Keutamaan Pertama]
Surat Al Ikhlas Setara dengan Tsulutsul Qur’an (Sepertiga Al Qur’an)

Hal ini berdasarkan hadits :

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) يُرَدِّدُهَا ، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ »


Dari Abu Sa’id (Al Khudri) bahwa seorang laki-laki mendengar seseorang membaca dengan berulang-ulang ’Qul huwallahu ahad’. Tatkala pagi hari, orang yang mendengar tadi mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut dengan nada seakan-akan merendahkan surat al Ikhlas. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat ini sebanding dengan sepertiga Al Qur’an”. (HR. Bukhari no. 6643) [Ada yang mengatakan bahwa yang mendengar tadi adalah Abu Sa’id Al Khudri, sedangkan membaca surat tersebut adalah saudaranya Qotadah bin Nu’man.]

Begitu juga dalam hadits:

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِى لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ ». قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ « (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) يَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ ».

Dari Abu Darda’ dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apakah seorang di antara kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al Qur’an dalam semalam?” Mereka mengatakan,”Bagaimana kami bisa membaca seperti Al Qur’an?” Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Qul huwallahu ahad itu sebanding dengan sepertiga Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 1922)

An Nawawi mengatakan,
Dalam riwayat yang lainnya dikatakan, ”Sesungguhnya Allah membagi Al Qur’an menjadi tiga bagian. Lalu Allah menjadikan surat Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) menjadi satu bagian dari 3 bagian tadi.” Lalu Al Qodhi mengatakan bahwa Al Maziri berkata, ”Dikatakan bahwa maknanya adalah Al Qur’an itu ada tiga bagian yaitu membicarakan (1) kisah-kisah, (2) hukum, dan (3) sifat-sifat Allah. Sedangkan surat Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) ini berisi pembahasan mengenai sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, surat ini disebut sepertiga Al Qur’an dari bagian yang ada. Ada pula yang mengatakan bahwa pahala membaca surat ini adalah dilipatgandakan seukuran membaca sepertiga Al Qur’an tanpa ada kelipatan. (Syarh Shohih Muslim, 3/165)

Apakah Surat Al Ikhlas bisa menggantikan sepertiga Al Qur’an?
Maksudnya adalah apakah seseorang apabila membaca Al Ikhlas sebanyak tiga kali sudah sama dengan membaca satu Al Qur’an 30 juz? [Ada sebagian orang yang meyakini hadits di atas seperti ini.]
Jawabannya: tidak. Karena ada suatu kaedah:
SESUATU YANG BERNILAI SAMA, BELUM TENTU BISA MENGGANTIKAN.

Itulah surat Al Ikhlas. Surat ini sama dengan sepertiga Al Qur’an, namun tidak bisa menggantikan Al Qur’an. Salah satu buktinya adalah apabila seseorang mengulangi surat ini sebanyak tiga kali dalam shalat, tidak mungkin bisa menggantikan surat Al Fatihah (karena membaca surat Al Fatihah adalah rukun shalat, pen). Surat Al Ikhlas tidak mencukupi atau tidak bisa menggantikan sepertiga Al Qur’an, namun dia hanya bernilai sama dengan sepertiganya.
 Bukti lainnya adalah seperti hadits :


مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ عَشْرَ مِرَارٍ كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ


”Barangsiapa mengucapkan (لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ) sebanyak sepuluh kali, maka dia seperti memerdekakan emat budak keturunan Isma’il.” (HR. Muslim no. 7020)

Pertanyaannya : Apakah jika seseorang memiliki kewajiban kafaroh, dia cukup membaca dzikir ini?
 Jawabannya : Tidak cukup dia membaca dzikir ini. Karena sesuatu yang bernilai sama belum tentu bisa menggantikan. (Diringkas dari Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah 97-98, Tafsir Juz ‘Amma 293)
 Mudah-mudahan kita memahami hal ini.

[Keutamaan Kedua]
 Membaca surat Al Ikhlash sebab mendapatkan kecintaan Allah

Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada seorang budak. Budak ini biasanya di dalam shalat ketika shalat bersama sahabat-sahabatnya sering mengakhiri bacaan suratnya dengan ’Qul huwallahu ahad.’ Tatkala para sahabatnya kembali, mereka menceritakan hal ini pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata,

 سَلُوهُ لأَىِّ شَىْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ


 ”Tanyakan padanya, kenapa dia melakukan seperti itu?”
 Mereka pun menanyakannya, dia pun menjawab,

لأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا


”Surat ini berisi sifat Ar Rahman. Oleh karena itu aku senang membacanya.”

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,

أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ


 ”Kabarkan padanya bahwa Allah mencintainya.” (HR. Bukhari no. 7375 dan Muslim no. 813)

Ibnu Daqiq Al ’Ied menjelaskan perkataan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ”Kabarkan padanya bahwa Allah mencintainya”. Beliau mengatakan,

”Maksudnya adalah bahwa sebab kecintaan Allah pada orang tersebut adalah karena kecintaan orang tadi pada surat Al Ikhlash ini. Boleh jadi dapat kitakan dari perkataan orang tadi, karena dia menyukai sifat Rabbnya, ini menunjukkan benarnya i’tiqodnya (keyakinannya terhadap Rabbnya).” (Fathul Bari, 20/443)

Faedah dari hadits di atas:
 Ibnu Daqiq Al ’Ied menjelaskan, ”Orang tadi biasa membaca surat selain Al Ikhlash lalu setelah itu dia menutupnya dengan membaca surat Al Ikhlash (maksudnya: setelah baca Al Fatihah, dia membaca dua surat, surat yang terakhir adalah Al Ikhlash, pen). Inilah yang dia lakukan di setiap raka’at. Kemungkinan pertama inilah yang nampak (makna zhohir) dari hadits di atas. Kemungkinan kedua, boleh jadi orang tadi menutup akhir bacaannya dengan surat Al Ikhlash, maksudnya adalah surat Al Ikhlas khusus dibaca di raka’at terakhir. Kalau kita melihat dari kemungkinan pertama tadi, ini menunjukkan bolehnya membaca dua surat (setelah membaca Al Fatihah) dalam satu raka’at.” Demikian perkataan Ibnu Daqiq. (Fathul Bari, 20/443)

BY Andri Fadhlan M Huda
Read more »»  

4 watak isteri dalam Al Quran

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Alhamdulillah Segala hanya milik Alloh Zalla Jalaluh, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang setiap makhluk-Nya, maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hamba-Nya yang kembali kepada-Nya. Sholawat dan Salam semoga senantiawsa tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Junjungan Kita baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikutinya.

Dicatat oleh Imam Al-Ghazalli
Dalam al-Quran, ada digambarkan empat jenis wanita yang bergelar isteri.

Pertama, jenis ideal isteri Musa. walaupun al-Quran tidak menyebut namanya, namun isteri Musa ini dikenali sebagai Safura anak perempuan Syuaib. Safura digambarkan seorang gadis murni. Dia tertarik dengan Musa. Cintanya kepada calon suami, tidak hanya demi kebahagiaan keluarga, iaitu membantu ayahnya. Al-Quran menggambarkan cinta mulia dan halus Safura melalui ayat 26 surah al-Qashash yang bermaksud:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata “Ya bapaku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), kerana sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercayai”
Dan sesungguhnya perkahwinan yang ideal ialah perempuan yang mulia serta setia berpasangan dengan suami yang kuat lagi amanah. Inilah pasangan romantis sebenar.

Kedua, jenis isteri Abu Lahab iaitu perempuan jahat berganding dengan suami terkutuk. Dalam surah al-Lahab ayat 3 dan 4 yang bermaksud:
“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar”
Isteri Abu Lahab bernama Ummu Jamil tidak disebut dalam al-Quran. Abu Lahab memiliki akhlak buruk dan dikatakan pernah mencuri emas yang terdapat di Kaabah kerana tamak dan rakusnya. Isterinya pula seorang penyombong dan memiliki perasaan hasad dengki yang kuat. Jadi, tugasnya ialah pembantu setia kejahatan suaminya.
Kalau Abu Lahab merupakan penentang utama terhadap nabi s.a.w, maka isterinya adalah pendorong utama yang turut aktif di dalam kegiatan jenayah suaminya.
Jadi jika suami diumpamakan terbakar dalam kejahatan nafsu, isteri pula pembawa kayu api – iaitu pengobar kejahatan suami. Maknanya isteri aktif dalam kegiatan jahat suami.

Ketiga, isteri baik dalam genggaman suami yang jahat. Watak ini menyebut isteri Firaun sebagai contohnya. Walaupun Firaun melalui al-Quran merupakan seorang Raja Besar yang dikutuk Allah, namun isterinya disanjung tinggi dalam al-Quran.
Isteri Firaun yang kononnya bernama Asiah ini juga tidak diberikan nama oleh al-Quran. Ia disebut sebagai “imraatu Firaun” atau perempuan Firaun sahaja. Walaupun Asiah ditakdirkan berpasangan sebagai suami isteri dengan Firaun, namun tindakan akhlaknya sangat bertentangan dengan suaminya yang zalim itu.
Asiah menyelamatkan Musa, sebaliknya Firaun ingin menghapuskan Musa. Dia berkenan dan beriman dengan ajaran Islam yang dibawa Musa. Semua manusia dilingkungannya menyembah Firaun sebagai Tuhan, tetapi dia diam-diam menyembah Allah.

Keempat, ialah watak perempuan Nuh dan Lut. Isteri dua orang nabi a.s ini dinyatakan Allah melalui al_Quran surah at-Tahriim ayat 10 yang bermaksud:
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang salih di antara hamba-hamba Kami;lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun, dari (seksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya);”masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”
Isteri Lut kononnya bernama Wa’ilah, tetapi isteri Nuh tidak diketahui namanya. Namun kedua perempuan ini juga tidak disebut dalam al-Quran siapakah nama mereka.

Keduanya adalah isteri kepada dua lelaki pilihan Allah, namun mereka disifatkan oleh Allah sebagai pengkhianat dan menjadi ahli neraka.
Demikianlah gambaran watak isteri dalam al-Quran.

Jangan engkau kahwini wanita yang enam, jangan yang Ananah, yang Mananah, dan yang Hananah, dan jangan engkau kahwini yang Hadaqah, yang Baraqah dan yang Syadaqah.”

Wanita Ananah: banyak mengeluh dan mengadu dan tiap saat memperalatkan sakit atau buat-buat sakit.
Wanita Mananah: suka membangkit-bangkit terhadap suami. Wanita ini sering menyatakan, “Aku membuat itu keranamu”.
Wanita Hananah: menyatakan kasih sayangnya kepada suaminya yang lain, yang dikahwininya sebelum ini atau kepada anaknya dari suami yang lain.
Wanita Hadaqah: melemparkan pandangan dan matanya pada tiap sesuatu, lalu menyatakan keinginannya untuk memiliki barang itu dan memaksa suaminya untuk membelinya.
Wanita Baraqah: ada 2 makna, pertama yang sepanjang hari mengilatkan dan menghias mukanya, kedua dia marah ketika makan dan tidak mahu makan kecuali sendirian dan diasingkannya bahagianya.
Wanita Syadaqah: banyak cakap tidak menentu lagi bising.

Wallohu A'lam,.
Read more »»  

Arabic Keyboard ™ لوحة المفاتيح العربية

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Read more »»  

Senin, 28 Mei 2012

Kemuliaan Wirid

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Sekalian hamba-hamba Allah yang shaleh di mana lahiriah mereka dihiasi dengan syariat dan bathiniah mereka diisi dengan marifat, pastilah sekalian waktu mereka dalam hidup tidak ada yang sia-sia, tetapi adalah penuh berisi dengan berbagai amal ibadat. Dan bagaimana dengan amal shaleh yang menghiasi waktu-waktu mereka itu, yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkan dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:

“Tidaklah menganggap remeh akan wirid melainkan orang-orang yang jahil. Bermula Al-Waarid itu didapat di negeri akhirat. Sedangkan Al-Wirdu itu terlipat ia dengan sebab terlipatnya kampung dunia ini. Dan sepatut-sepatut sesuatu yang mementingkan seseorang dengannya ialah sesuatu yang tidak dapat menggantikan adanya Al-Wirdu yang Allah menuntut wirid bagi anda, sedangkan Al-Waarid anda yang memohonkan dari Allah. Dan dimanakah sesuatu yang Allah menuntutnya dari anda (apabila dibandingkan) dari sesuatu yang bermula dariNya itu tujuan anda pada sesuatu itu.” Dalam ilmu Tasawuf ada istilah Al-Wirdu, di mana dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan perkataan “wirid”. Al-Wirdu itu ialah: “Segala amal shaleh yang mendekatkan seseorang kepada Allah yang Maha Megah dan Maha Pengampun.”
Atau dalam definisiyang lain adalah sebagai berikut: “Segala amal shaleh yang terisilah segala waktu dengannya dan tercegah segala anggota dengan sebabnya pada jatuh ke dalam segala sesuatu yang tidak baik.”

Jadi yang dimaksud dengan Al-Wirdu ialah amal shaleh apa saja yang bersifat ibadat atau yang dianggap baik untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menghampirkan diri kepada Allah s.w.t.
Apakah amal shaleh itu sifatnya lahiriah atau sifatnya bathiniah. Apabila amal-amal shaleh itu ditetapkan mengerjakannya pada waktu-waktu tertentu, berarti terisilah waktu-waktu itu dengan hal-hal yang baik dan jauh segala anggota kita pada mengerjakan segala sesuatu yang tidak diinginkan menurut agama.

Misalnya dari Al-Wirdu ialah, seperti menetapkan sembahyang Dhuha pada waktunya, menetapkan membaca Al-Quran sehari semalam sekian banyaknya, mengajar ilmu agama pada waktu-waktu tertentu dengan ikhlas tanpa memungut biaya, sembahyang malam sekian rakaat dan sebagainya. Maka mengisi waktu dengan amalan shaleh secara kontiniu, tetap tekun dan yakin, sehingga tidak pernah tinggal, dan kalau tinggal diqadha’. Yang begitu itu adalah disebut dengan Al-Wirdu atau wirid.

Contoh yang bersifat bathin, seperti pada waktu khusus apakah di siang hari atau malam hari kita tafakur mengingat segala dosa yang telah kita kerjakan, kita minta ampun kepada Allah s.w.t. dan kita berzikir dalam hati mengingati Allah s.w.t. serta mengharapkan keridhaanNya.

II. Istilah Tasawuf yang kedua yang kita lihat dalam Kalam Hikmah ini ialah perkataan “Al-Waarid”. Yang dimaksud dengannya ialah :
“Sesuatu yang datang atas bathin si hamba berupa hal-hal yang halus dan nur, maka dengannya menjadi lapanglah dadanya dan bersinarlah hatinya.”

Maksudnya dengan sebab amal-amal shaleh yang kita kerjakan sehingga tidak pernah kita tinggalkan, adalah merupakan jalan di mana Allah s.w.t. akan mendatangkan (melimpahkan) ke dalam hati hambaNya nur-nur yang tak dapat dilihat oleh mata dan dijangkau oleh perasaan, tetapi yang terang, hati kita telah dilimpahkan ilmu ketuhanan sehingga iman kita terbuka melihat hakikat hikmah alam maya pada ini dan hati kita bersinar dengannya. Yang begini ini adalah disebut dengan “Al-Waarid”. Jadi apabila Al-Wirdu merupakan amaliah manusia dan ‘ubudiyahnya kepada Allah s.w.t., maka Al-Waarid berarti kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia dengan berkah amal shalehnya itu.

III. Al-Wirdu patut menjadi perhatian kita manusia sebagai hamba Allah. Sebab hal keadaannya adalah karena dua hal:

(1). Al-Wirdu itu kesempatannya, waktunya dan tempatnya hanya khusus di dunia saja, tidak di akhirat. Sebab itu apabila dunia ini masih ada, maka masih ada kesempatanlah mengerjakan Al-Wirdu atau wirid, yakni masih ada kesempatan membaca Al-Quran, bersalawat, sembahyang, berzikir, berwaqaf, bersedekah dan sebagainya. Tetapi demi dunia ini sudah tidak ada lagi, ataudemi umur kita sudah sampai, atau demi waktu untuk menerima ibadat sudah tidak ada lagi, maka tidak ada artinya segala wirid yang tersebut tadi.

Oleh sebab itu sepantasnya bagi kita memperbanyak ibadat yang bersifat istiqamah di dunia ini selama masih ada kesempatan, karena kita masih hidup. Tetapi apabila waktu-waktu yang diharapkan untuk dapat beribadat di dalamnya telah berlalu dan telah
luput atau umur kita sudah sampai ajalnya, maka pastilah tidak akan mungkin untuk mengejar dan mengganti amal shaleh yang telah luput itu.

III. (2) Hak Tuhan atas kita ialah Al-Wirdu itu. Sedangkan hak kita pada Allah ialah mendapat pahala dan kurnia dariNya atas amal shaleh yang kita kerjakan itu. Karena itu yang lebih patut dan layak ialah supaya kita melaksanakan hak Tuhan atas kita, karena dengan demikian pasti Allah dengan sifatNya yang Maha Murah akan memperhatikan kita. Dan alangkah tidak patut dan tidak kena pada tempatnya, kita mendahulukan diri kita memohon kepada Allah supaya Allah memberikan kurniaNya atas kita sedangkan hak-hakNya tidak menjadi perhatian kita dan kita tidak serius mengamalkannya.

Apabila demikian pentingnya Al-Wirdu sebagai jalan atas datangnya Al-Waarid, teranglah bagi kita bahwa orang-orang yang meremehkan Al-Wirdu, tidak memperhatikan dengan serius atau meninggalkan sama sekali adalah orang-orang bodoh dan orang-orang jahil, betul-betul jahil. Sebab orang-orang itu tidak sampai ilmunya atau tidak sampai perasaannya pada merasakan dengan keyakinan hikmah yang terkandung di dalam Al-Wirdu itu.

Tetapi apabila perasaannya sampai pada menanggapi bahwa Al-Wirdu itu menimbulkan kesucian bathin dan mendatangkan cahaya iman, yakin dan makrifat, pasti dia tidak akan memandang ringan dan meremehkan Al-Wirdu itu. Oleh sebab itu cuma rindu semata-mata dan cuma ingin untuk mendapatkan Al-Waarid dari Allah tetapi tidak mau bersama mencari jalan-jalannya adalah jahil dan bodoh.

IV. Inilah sebabnya kita melihat para ulama besar dan hamba-hamba Allah yang shaleh selalu dalam istiqamah, tekun dan kontiniu dalam beramal dan beribadat, sehingga waktu-waktu mereka tidak sunyi dari terisi dangan amal-amal kebajikan.

Sebagai contoh Al-Junaid Al-Baghdady mewiridkan sembahyang sunnah hingga sampai keluar roh beliau dari dua kakinya, barulah sembahyang itu beliau hentikan. Dan banyak bukti bagi kita tentang istiqamahnya para ulama dan ketekunan mereka dalam beramal. Berkata Abu Thalib Al-Makky r.a.:

“Mengekalkan wirid-wirid adalah sebahagian dari akhlak orang-orang yang beriman dan jalan orang-orang yang ahli ibadat, dan mengekalkan wirid itu adalah menambah iman dan tanda yakin.”

Dalam satu Hadis, Saiyidah Aisyah r.a. telah ditanyakan, mengenai amal Rasulullah s.a.w. Aisyah menjawab: “Amal Nabi adalah berkekalan!” Dan pada lafaz yang lain Aisyah berkata: “Nabi apabila mengamalkan sesuatu amalan, beliau memperbaguskan amalan beliau, dan beliau tetapkan amalan itu (secara kontiniu).”
Sebab itu dalam Hadis yang masyhur Nabi bersabda:

“Sebaik-baik amal pada Allah Ta’ala ialah amal yang kontiniu meskipun sedikit.”

Kesimpulan:

Apabila kita bermaksud supaya hati kita dipimpin oleh Allah dengan bertambah kuatnya iman, bertambah yakin dan bersinar hati di samping lapang dada kita menghadapi segala sesuatu di dunia ini, maka jangan lupa berusaha dengan ibadat dan amal amal-amal shaleh yang sifatnya istiqamah, tetap dan kontiniu. Apabial demikian keadaannya Insya Allah s.w.t. tanpa kita sadari, kita telah berjalan sedikit demi sedikit dekat kepada Allah dalam arti iman dan yakin.
Wallohu A'lam.,
Read more »»  

Kisah Istighfarnya Abdullah Bin Sulthon

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Abdulah bin Sulthon membaca istighfar ini tiap malam di bulan Rajab. Ini terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Maka ketika Abdullah bin Sulthon meninggal tidak ada seorangpun yang hadir untuk memandikan, menyolatkan, dan melayat jenasahnya, maka turunlah malikat Jibril kepada Rasulullah SAW dan berkata. “Wahai Rasulullah, Tuhanmu memberimu salam dan mengkhususkanmu dengan kehormatan dan kemuliaan dan Tuhanmu memerintahkanmu untuk pergi ke jenasahnya Abdullah bin Sulthon, kemudian mandikanlah, kafanilah dan sholatilah.” Dan kemudian berangkatlah Rasulullah SAW, beliau berjalan dengan ujung jari-jari kakinya, ketika sampai di kuburnya beliau tersenyum, maka para sahabat kagum dengan sikap Rasulullah SAW tersebut. Setelah semuanya kembali pulang, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW mengapa engkau berjalan dengan ujung jari-jari kaki wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”sungguh saya melihat dari banyaknya malaikat yang sedang berkumpul sehingga hampir tidak ada tempat untuk meletakkan kaiku di tanah, kecuali untuk jari-jari kakiku” Kemudian para sahabat bertanya lagi : “Kenapa engkau tersenyum wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”sungguh aku telah melihat telaga dari surga ada di kuburnya dan di belakang telaga datang bidadari cantik-cantik yang masing-masing membawa gelas yang penuh dengan air dari telaga Kautsar, dan masing-masing berebut untuk memberi minum kepadanya, karena itu aku tersenyum. Kemudian Nabi mengajak para sahabat: “Mari kita ke rumah Abdullah bin sulton dan bertanya kepada istrinya tentang apa yang dikerjakan suaminya di masa hidupnya.”

Sesampai di depan rumahnya yang dalam keadaan tertutup, mereka mengetuk pintu, maka istri Abdullah bin Sulthon berkata,”Siapakah yang mengetuk pintu rumahnya orang fasik, pendusta?” Para sahabat berkata : “Wahai ibu yang baik, bukalah imamnya para Rosul, dan Nabi terakhir” MAka dibukalah pintu itu lalu ditanyakan pada istrinya tentang tingkahlaku suaminya dan apa saja yang dikerjakan sewaktu hidupnya. Perempuan itu menjawab, “Wahai Rasulullah saya tidak pernah melihat, tapi saya melihat bila datang bulan Rajab dia membaca Istighfar ini saya menjadi hafal. Nabi memerintahkan kepada Sayyidina Ali Kw menulis, setelah ditulis maka Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membaca Istighfar ini dan meletakkan di rumahnya atau diletakkan di benda lainnya (peci, sabuk, baju) maka Allah SWT memberi pahala kepadanya seperti pahalanya 1000 orang yang jujur, pahala 80.000 haji, pahala 80.000 masjid, pahala 80.000 yang minum air dari telaga kautsar, pahala 80.000 malaikat yang mulia, pahala 80.000 orang yang ahli ibadah, pahala 7 langit dan 7 bumi, pahala 8 pintu surga, pahala Arsy dan kursi, pahala Laukh dan qolam dan pahala Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, bin Maryam, dan Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah SAW bersabda,”Brangsiapa yang membaca Istighfar ini maka Allah SWT membangunkan untuknya 80.000 istana yang setiap kamarnya ada 80.000 bidadari yang cantik-cantik, di atas kepala bidadari ada pohon menaunginya selebar dunia seisinya. Barangsiapa membaca Istighfar ini 4X selama hidupnya maka sesungguhnya Allah SWT memberikan pahala Mekkah, Madinah, dan Baitul Maqdis. Apabila orang tersebut mati pada malam atau siang hari pada waktu  membaca Istighfar ini, maka Allah SWT memerintahkan 80.000 malaikat untuk mengiringi jenazahnya dan memohonkan ampunan untuknya, dan Allah SWT memudahkannya dalam pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Allah SWT membukakan dalam kuburnya pintu ke surga dan akan datang bidadari yang cantik dengan membawa mangkuk berisi air dari telaga Kautsar, maka tatkala bangun dari kubur pada hari kiamat, wajahnya bersinar melebihi sinar bulan. Penduduk Magtsar berkata,”inikah nabi, inikah Rasul, inikah malaikat yang dengan Allah SWT” Maka diucapkanlah,”Bukan, ini adalah salahsatu hamba Allah SWT dari bani Adam yang dimuliakan Allah SWT sebab BAROKAH bacaan Istighfar.” kemudian didatangkanlah Burouq yang dinaikinya dan berjalan menuju pintu surga tanpa hisab. Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barangsiapa membaca istighfar ini tidak akan didekati ular, kalajengking, srigala, dan sesuatu yang mencelakakannya dan selamat dari mati mendadak, selamat dari orang-orang dzalim, penpu orang hasut, perbuatan ahli sihir, orang yang kejam dan fasik, Allah SWT akan melihatnya dengan pandangan rahmat dan selamt dari jin, orang durhaka, setan-setan dan seluruh hal yang mencelakakannya. Inilah Istighfarnya :

استغفِر الله، استغفر الله، استففر الله العظيم الّذى لا اله الّا هو الحي القيّوم وأتوب اِليه من حميع مااكرهه قولا وفعلا حاَ ضرا وغائبًا. اللهم إنّي استغفرك لما قدّمتُ واخّرتُ وما اعلنت وما انت اعلم به منّي انت المقدّم وانت المؤخّر وانت على كل شيئ قدير. اللهم إنّي استغفرك من كل ذنب تبت منه ثمّ عدت اليه استغفرك لما أردت به وجهك الكريم فخالطني فيه ما ليس لك به رضا واستغفرك لما دعاني اليه الهوى من قبل فيما اشتبه عليّ وهو عندك محرّم واستغفرك من النعم التي انعمت بها علي فاستعنت بها على معاصيك واستغفرك من الذنوب التي لايطّلع عليها احد سواك ولا ينجّي منها الا عفوك واستغفرك من كل يمين حنثت فيه وهم عند محرم وانا موآخذ به واستغفرك لا اله الا انت يا عالم الغيب والشهادة من كل سيئة عملتها في سواد الليل وبياض النهار وفي فلا وملا قولا وفعلا انت ناظر إليّ اذا كتمته وترى ما اتيته من العصيان ياكريم يامنان ياحليم واستغفرك لا اله الا انت سبحانك إني كنت من الظالمين واستغفرك من كل فريضة وجبت علي في أنآء الليل واطراف النهار وتركتها سهوا او غفلة او خطأ وا…نا مسؤل بها واستغفرك من كل سنة من سنن سيد المرسلين وخاتم النبيين سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم وتركتها سهوا او غفلة او خطأ اوتهاونا فإني استغفرك يآ الله يآ الله لا اله الا انت سبحانك إني كنت من الظالمين. لا اله الا انت يا رب العالمي انت ربي لا اله الا انت وحدك لا شريك لك سبحانك يارب العالمين وانت على كل شيئ قدير. ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم وصلى الله علي سيدنا محمد النبيّ الأميّ وعلى آله وصحبه اجمعين. سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين


Sumber : Dari kitab Majmu’atul Mubarakah : ini telah diijazahkan oleh Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali Yahya, Pekalongan kepada penerjemah Habib Umar Al-Athos
Read more »»  

Translate