-->


"Kami tidak lebih hanyalah para penuntut ilmu yang fakir dan hina. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan Ahlus Sunnah Waljama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rosulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari Salafunas Sholih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, sumbernya langsung sampai ke Baginda Rosulullah SAW.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah.


Cari Blog Ini

Selasa, 29 Mei 2012

Kholaf penerus Salaf


Sekitar Istilah Salaf dan Khalaf

Di Antara gejala buruk yang berlaku dalam bidang ilmu agama adalah munculnya golongan yang mengaku lebih memahami manhaj salaf di banding para ulama' sebelum mereka yakni ulama yang di sebut "khalaf". Untuk menjadikan diri mereka berhak mengetahui siapa sebenarnya salaf dan apa sebenarnya manhaj salaf, maka mereka menamakan diri mereka  dengan nama "salafi", yaitu orang yang mengikut jejak salaf.

Ketidak tauan Terhadap Istilah

Golongan intelektual yang setengah matang yang muncul dalam lapangan intelektual Islam terpaksa menciptakan terminologi-terminologi (mustalahat) baru untuk mengelabui golongan yang lebih jahil daripada mereka. Lalu, mereka menggunakan istilah tertentu  dengan takrif/definisi baru yang menyimpang dari penggunaan asalnnya dengan tujuan untuk mendominasi dan memonopoli istilah tersebut.

Maka, muncullah terminologi seperti "salafi", "khalafi" dan sebagainya yang mana sebelumnya, para ulama' hanya menggunakan istilah khalaf dan salaf saja.

Salafi  menurut golongan (baru) ini adalah: "orang2 yang mengikuti manhaj salaf".

Khalafi menurut golongan (baru) ini adalah: "orang yang tidak mengikut manhaj salaf".

Padahal, istilah salaf dan khalaf yang digunakan oleh para ulama' secara sepakat sebelum munculnya golongan ini adalah:

Salaf: Generasi yang hidup dalam kurun pertama sehingga kurun ketiga hijrah, atau sampai kurun kelima hijrah. pendapat Paling kuat adalah, sampai kurun ketiga hijrah.

Khalaf: Generasi yang hidup setelah kurun ketiga atau kelima hijrah.

Maka, istilah salaf dan khalaf dalam penggunaan asal dari para ulama' tidak pernah di maksudkan  sebagai suatu perbedaan manhaj, tetapi lebih di maksudkan pada perbedaan tempo masa. Sampai pada masa munculnya golongan yang mengaku sebagai salafi, yang padahal mereka hanyalah meneruskan semangat Ibn Taimiyyah yang sering mengaku lebih memahami salaf di banding dengan ulama'-ulama' lain sebelumnya atau yang sezaman dengannya khususnya dari kalangan Asya'irah yang dianggap kurang memahami manhaj salaf, lalu memulai usaha menamakan diri sebagai salafi dan lalu menamakan selain mereka sebagai khalafi.

Dengan usaha mereka ini, mereka mencetuskan suatu perkembangan di mana golongan ulama' yang berlainan faham dengan mereka dianggap tidak mengikuti salaf walaupun para ulama' tersebut adalah majoritas ulama' Islam. Bagi mereka, tokoh-tokoh yang memahami "salaf" yang sebenarnya hanyalah beberapa individu saja seperti Sheikh Ibn Taimiyyah, Sheikh Ibn Al-Qayyim, Sheikh Muhammad Abdul Wahab dan sebagainya.

 Sedangkan, majoritas ulama' lain yang beraliran Asya'irah dan Maturidiyyah dalam bidang aqidah adalah "khalafi" yang tidak mengikut mazhab dan manhaj Salaf yang sebenarnya. Sebagai contoh, muncullah sautu situasi di mana seorang insan yang mungkin hanya seorang pekerja , mengaku lebih memahami salaf di banding Hujjatul Islam, Al-Imam, Al-Mujtahid, Al-Faqih, Al-Usuli Sheikh An-Nizhamiyyah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang merupakan mudir sebuah madrasah terbesar di zaman beliau iaitulah Al-Madrasah An-Nizhamiyyah.

 pada Situasi yang lain pula muncul seorang insan kerdil yang tidak mengenal perbedaan antara mubtada' dengan khabar, lalu mengaku lebih mengikut Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah aqidah ,di banding Al-Imam Al-Hafiz Al-Muhaddith Amirul Mu'minin fi Al-Hadith Ibn Hajar Al-Asqollani, pensyarah kitab Sahih Al-Bukhari, hanya di karanakan Imam Ibn Hajar mempunyai pendirian dengan aqidah manhaj Al-Asy'ari.

Lihatlah ukuran peristiwa-peristiwa ini. Tidak adakah suatu bid'ah yang lebih besar daripada bid'ah seperti ini? maka Ungkapan: saya "salafi", bahkan lebih "salafi" daripada Al-Imam Al-Ghazali (hidup tahun 450 Hijrah dan meninggal dunia tahun 505 Hijrah), bahkan lebih memahami sunnah dan bid'ah di banding Al-Imam As-Syafi'e (150-204 H), seolah-olah hal semacam ini berkumandang secara lisan ha oleh pengikut golongan ini.

Khalaf adalah Penerus Manhaj Salaf

Seseorang perlu mengetahui bahawasanya yang dimaksudkan sebagai "Khalaf" adalah para ulama' yang hidup setelah berlalunya zaman salaf yang meneruskan manhaj umum para ulama' salaf. Khalaf tidak pernah di artikan dengan suatu golongan ulama' yang berbeda dengan ulama'-ulama' salaf dari sudut aqidah, manhaj fiqh dan akhlak.

Istilah salaf sendiri berarti:

 سَلَفَ يَسْلُفُ سَلَفاً وسُلُوفاً: تقدَّم


 Maksudnya: Salaf: Taqaddam yaitu terdahulu. [Lisan Al-'Arab, madah salafa]

 والسَّلَفُ والسَّلِيفُ والسُّلْفَةُ: الجماعَةُ المتقدمون


 Maksudnya: "As-Salaf, As-Salif dan As-Sulfah: Golongan Terdahulu [ibid]

 Jadi, seseorang yang mengaku sebagai "salafi" secara bahasa berarti orang yang terdahulu. Sepatutnya sudah tidak hidup lagi karana sudah sepatutnya digantikan oleh orang yang kemudian. Oleh karana itulah para ulama' salaf tidak menyebut diri mereka sebagai "salafi" ketika mereka hidup karena para ulama' khalaflah yang memanggil mereka sebagai ulama' salaf karana mereka telah berlalu dan mendahului generasi kemudian.

 Khalaf berarti generasi yang ditinggalkan setelah generasi terdahulu. Ia berasal dari perkataan khalafa yang berarti ke belakang atau kemudian.

 الخَلْفُ ضدّ قُدّام

 Maksudnya: Khalfu adalah lawan bagi Quddam ( terdahulu) [Lisan Al-'Arab, madah: khalafa]

 Seseorang tidak akan dinamakan sebagai khalaf dari sesuatu melainkan dia penerus apa yang dilakukan oleh orang terdahulunya. Maka, dinamakanlah para ulama' khalaf sebagai khalaf karana mereka meneruskan apa yang dipegang oleh ulama' salaf, bukan karana mereka berbeda dengan salaf. Orang yang memahami bahwa ulama' khalaf berbeda dengan ulama' salaf dari sudut pegangan dan femahaman agama yang usul itu adalah suatu femahaman batil terhadap maksud khalaf itu sendiri.

 Rasulullah s.a.w. sendiri memuji generasi khalaf ini yang meneruskan usaha menjaga kemurnian agama daripada golongan jahil dan batil.

 Rasulullah s.a.w. bersabda:

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المبطلين، وتأويل الجاهلين


 Maksudnya: "Ilmu ini akan dipikul oleh setiap khalaf (orang yang kemudian) dari kalangan yang adil daripadanya, yang menafikan tahrif (penyelewengan) orang yang melampaui batas , kepincangan golongan pembuat kebatilan dan takwilan dari orang-orang jahil".

 [Hadith diriwayatkan secara mursal dalam sebahagian riwayat (Misykat Al-Mashabih) dan disambung secara sanadnya kepada sahabat kepada Rasulullah s.a.w. oleh Al-Imam Al-'Ala'ie. As-Safarini mengatakan  sahih dalam kitab Al-Qaul Al-'Ali m/s: 227]

Ulama' Khalaf adalah "Salaf" (Pengikut Salaf) Pada Generasi Setelah Zaman Salaf

 Kita perlu menyadari hakikat ini, dengan menyusuri sejarah dan lembaran tulisan ulama' tentang hakikat bahawasanya majoritas ulama' khalaf sebenarnya adalah penerus manhaj dan faham ulama' salaf dalam bidang agama. Nama-nama seperti Asya'irah, Maturidiyyah dan sebagainya dalam bidang aqidah adalah suatu tradisi yang sama seperti hal nama-nama Syafi'iyyah, Malikiiyyah, Ahnaf dan Hanabilah dalam bidang fiqh. Ia tidak lebih daripada himpunan manhaj yang seragam dan perkembangan kaedah pendalilan (istidlal) dalam sesuatu bidang ilmu, bukan suatu penyimpangan atau berlaianan daripada apa yang difahami oleh salaf. Hatta yang mengaku "Salafi" juga adalah berlainan daripada salaf itu sendiri.

Oleh sebab itulah, banyak tokoh-tokoh Asya'irah dalam bidang aqidah menulis kitab-kitab aqidah lalu menisbahkan aqidah mereka kepada as-salaf as-sholeh. Antaranya adalah:

Al-Imam Al-Hafiz Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi Al-Asy'ari yang menulis kitab berjudul:

 الاعتقاد علي مذهب السلف اهل السنه و الجماعه

(Al-I'tiqad 'ala Mazhab As-Salaf Ahl As-Sunnah wal Jamaah yang maksudnya: Kepercayaan  aqidah berteraskan mazhab Salaf ahli sunnah wal jamaah).

 Sudah pasti kitab ini mengandungi pembahasan-pembahasan aqidah secara manhaj Asya'irah, namun di sisi Al-Imam Al-Baihaqi,  itu tidak lain melainkan aqidah mazhab Salaf juga. Jadi, Asya'irah juga adalah "Salafiyyah" (jika ingin menggunakan istilah sekarang) pada asalnya, bahkan lebih awal ke"Salafiyyah"an mereka di banding Salafiyyah Wahabiyyah yang muncul kemudian.

Begitu juga Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang menulis kitab berjudul:
Iljam Al-Awam 'An Ilm Al-Kalam

Dalam kitab tersebut menjelaskan manhaj salaf yang sebenarnya dalam berinteraksi dengan ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat dengan cara tafwidh. Beliau menisbahkan manhaj ini (walaupun beliau sebagai di antara ulama' Asya'irah) kepada manhaj As-Salaf AS-Sholeh. Dalam Muqoddimah kitab ini, Al-Imam Al-Ghazali mengkritik Hasyawiyyah yang memahami nas-nas yang dhahirnya tasybih secara dhahir, lalu mengaku bahwa itu sebagai aqidah salaf, kemudian beliau menjelaskan manhaj as-salaf yang sebenarnya secara manhaj asy'ari. Maka, Al-Ghazali juga menetapkan ke"salafi"an beliau tanpa mengaku "salafi".

 Oleh sebab itu, tokoh besar Al-Azhar AS-Syarif, Sheikh Abu Zahrah menjelaskan permasalahan Asya'irah, Maturidiyyah, Ibn Taimiyyah dan Wahabi dalam masalah aqidah di mana mereka berusaha mengaku siapa lebih memahami as-salaf yang sebenarnya. Kemudian, Sheikh Abu Zahrah menguatkan pendapat bahawasanya, cara Al-Imam Al-Ghazali (Asya'irah) dan Maturidiyyah dalam memahami Salaf lebih tepat di banding cara Ibn Taimiyyah memahami salaf dalam masalah aqidah. [Rujuk kitab Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyyah]

Mengaku "Salafi" Adalah Bid'ah yang Bahaya

 Maka, benarlah kesimpulan yang dibuat oleh tokoh besar yaitu Sheikh Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buti dalam kitab As-Salafiyyah, bahawasanya bermazhab dengan mazhab salafi adalah suatu bid'ah yang bahaya. Silahkan rujuk di sini: http://www.dahsha.com/uploads/SalafyyaBouti.pdf

Ini karena itu,mereka menyimpulkan beberapa perkara:
As-Salaf itu bukan semata-mata suatu zaman yang diberkati, tetapi suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. Padahal, keseragaman manhaj dalam bidang agama tidak berlaku dalam keseluruhan salaf. Dalam bidang fiqh saja ada perbedaan antara Ahl Hadith dengan Ahl Ra'yi. Dalam bidang aqidah juga berbeda-beda manhajnya. Al-Imam Ahmad berbeza dengan Al-Imam Al-Muhasibi dan Ibn Kullab. Begitu juga Al-Imam Al-Bukhari berbeda dengan Al-Imam Ahmad dalam masalah lafaz Al-Qur'an. Begitu juga masalah-masalah lain. Jadi, tidak ada namanya mazhab salaf dalam arti kata bahwa itu suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. As-Salaf dalam istilah yang sebenar nya hanyalah suatu tempo masa yang diberkati.

mereka seolah-olah mengeluarkan selain "salafiyyah" daripada pengikut salaf yang sebenarnya. Oleh karena itulah, munculnya Salafiyyah Wahabiyyah yang menafikan Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya sebagai pengikut salaf yang sebenarnya. Salafiyyah Wahabiyyah telah memenangkan dominasi slogan "mengikuti salaf", lalu menganggap selain mereka sebagai :"tidak mengikuti salaf". Ini suatu prasangka yang bahaya karana tidak mengikut salaf dalam masalah usul agama berarti tidak mengikut Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini adalah tuduhan yang sangat bahaya. Oleh karana itulah, banyak orang jahil menganggap bahwa para ulama' Asya'irah, MAturidiyyah dan Sufiyyah tidak mengikut aqidah sebenar Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini membawa kepada menuduh sesat selain yang mengaku "salafi".

Padahal, Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya yang masih dalam lingkungan mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah hanya berbeda dari sudut manhaj dan pendekatan dalam bidang agama, bukan berbeda isi kandungan femahaman agama dengan as-salaf. Pendekatan dan manhaj adalah suatu yang berkembang mengikut zaman sebagaimana juga munculnya mazhab fiqh pada awal kurun ketiga hijrah lalu diteruskan hingga hari ini. Tidak boleh seseorang mengatakan mazhab syafi'e, atau mazhab maliki, bukan fiqh Rasulullah s.a.w, karana mazhab adalah himpunan cara ulama' memahami dalil-dalil yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w..

Maka, tidak perlu mengaku "salafi" untuk dinilai sebagai mengikut as-salaf as-sholeh. Ukurannya jelas yaitu dengan memahami agama mengikut femahaman as-salaf as-sholeh. dengan meRujuk kitab-kitab ulama' salaf sendiri. Bukan sekadar merujuk satu dua tokoh yang ada kemudian yang mengaku bahwa hanya mereka saja yang memahami salaf. ini Adalah suatu hal yang pincang apabila seseorang menjelaskan tentang manhaj salaf namun rujukannya bukan salaf seperti Sheikh Ibn Taimiyyah dan Muhammad Abdul Wahab sedangkan banyak lagi tulisan para ulama' salaf muktabar yang bisa dirujuk. Sheikh Ibn Taimiyyah tidak mesti tepat dalam memahami maksud dan isi perkataan dan femahaman salaf dalam semua masalah dan juga para ulama' lain tidak mesti tidak memahami salaf yang sebenarnya. Banyakkanlah bahan kajian agar kita jujur dalam membuat kajian.

 Disusun dengan bantuan Allah s.w.t.

Tidak ada komentar:

Translate