-->


"Kami tidak lebih hanyalah para penuntut ilmu yang fakir dan hina. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan Ahlus Sunnah Waljama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rosulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari Salafunas Sholih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, sumbernya langsung sampai ke Baginda Rosulullah SAW.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah.


Cari Blog Ini

Selasa, 15 Mei 2012

Sholawat: Cinta Segitiga Alloh - Rosululloh - Manusia

Belajar Mengilmui Sholawat

Kita membaca Sholawat mungkin sendiri di kamar, di perjalanan atau ketika sedang larut dalam pekerjaan. Mungkin pula kita membacanya secara berjamaah di surau-surau atau pada acara-acara tertentu di kampung kita. Umumnya orang tidak hanya membaca Sholawat tetapi juga qoshidah, wirid atau dzikir yang kesemuanya merupakan karya para auliya atau pujangga lslam yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak berabad-abad yang lalu melalui tradisi Maulid Nabi, pepujian di musholla-musholla atau ditempat dan acara lainnya. Qosidah bisa bermuatan Sholawat , dzikir atau wirid atau juga kalimat-kalimat ungkapan cinta kepada Allah Swt, Nabi Muhammad Saw atau kepada lslam itu sendiri. Adapun wirid atau dzikir adalah kata-kata yang diungkapkan untuk mengingat Allah, menghayati keagungan-Nya, meminta atau memohon sesuatu kepada-nya. isinya bisa diambil dari ajaran langsung Allah Swt atau merupakan kreasi atau ciptaan hamba-hamba-Nya.

Kali ini kita memfokuskan diri untuk membicarakan Sholawat secara umum. Tetapi terlebih dahulu kita catat dan tegaskan satu hal mendasar mengenai Sholawat sebelum mengembarai sisi-sisi lainnya. Sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan jenis ibadah lainnya, Sholawat itu bukan agama dan bukan tujuan dari apa yang kita lakukan itu sendiri. Sholawat hanya berposisi - seperti shalat, puasa, zakat, dan haji – sebagai alat dan cara untuk mengantarkan kita pada tujuan sejati yakni dekat dengan Allah serta berdampingan dengan Rasulullah Saw. Meskipun tentu saja Sholawat tidak berkedudukan seperti ibadah shalat dan puasa yang mahdhoh dan merupakan rukun lslam. Sholawat merupakan thoriqoh atau jalan untuk mengintensifkan dan memperdalam hubungan batin kita dengan, pertama Allah Swt dan kedua Rasulullah Saw. Oleh karena itu yang terpenting dan yang menjadi tolak ukur adalah apakah dengan metode-metode Sholawat ini kita menjadi makin dekat dengan Allah dan Rasulullah atau tidak.

Karena tidak ada seseorang yang sungguh-sungguh sanggup dan bisa menilai orang lain maka kita sendirilah yang dalam hati dan batin kita masing-masing harus memacu menggembalakan diri sendiri dan rajin meniti perkembangan mutu hubungan kita dengan Allah dan Rasulullah. Maka makin banyak kita mengingat Allah dan Rasulullah dengan dan dalam Sholawat makin bermanfaatlah apa yang kita lakukan dengan Sholawat-Sholawat yang kita baca.
Alloh Pelopor Gerakan Sholawat

Sholawat merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah Saw, yang dipelopori langsung oleh Allah Swt sendiri kemudian dikembangkan oleh para pecinta Muhammad Saw. Lewat ayat: lnnalloha wa malaikatahu yusholuna alan nabiyyi ya ayyuhal ladzina amanu sholu alihi wa sallimu taslima: Alloh menyuruh kita untuk bersholawat kepada Nabi Mumammad sambil Ia tegaskan, bahwa perintah ini pun Ia sendiri (bersama malaikat-Nya) yang memelopori perwujudannya. Ia berbeda dengan perintah-perintah Allah lainnya. Kalau kepada hamba-Nya, Ia menyuruh bersembahyang. Allah sendiri tidak perlu bersembahyang. Kalau Allah memerintahkan hambanya untuk berzakat, Allah sendiri tentu tidak perlu berzakat. Kalau Allah meminta kita untuk berpuasa, Allah sendiri tentu tidak terkena kewajiban berpuasa. Allah tidak melakukan apa yang diperintahkan Dirinya kepada hamba-hamba-Nya.

Tetapi khusus dalam soal Sholawat Allah berpenampilan agak berbeda. la yang menyerukan, Ia yang memberi contohnya. Allah beserta para malaikat-Nya bersholawat kepada Rasulullah Saw. Demikian besar dan agungnya cinta Allah kepada kekasih-Nya yang bernama Muhammad itu sehingga Ia sendiri mau bersholawat kepadanya dengan memposisikan diri bukan hanya sebagai yang punya perintah tapi juga sekaligus pelopornya.

Tak hanya itu, kita juga perlu melihat cintanya Allah kepada Muhammad dari kenyataan bahwa: kalau kita bersembahyang kita mempunyai dua kemungkinan, diterima oleh Allah atau tidak. Begitu juga kalau kita berpuasa, berzakat atau mengerjakan ibadah yang lainnya. Tetapi kalau kita bersholawat itu pasti diterima oleh Allah sekaligus pasti sampai kepada Rasulullah. Dari sisi kita - hamba Allah dan umat Muhammad - Sholawat merupakan ungkapan terima kasih tiada tara kepada Rasulullah Saw yang telah memandu dan memimpin perjalanan kaum Muslimin kepada Allah Swt. Ungkapan cinta kita kepada Rasulullah itu sekaligus juga merupakan perwujudan cinta kita kepada Allah. Mustahil kita mencintai Allah Swt, tanpa mencintai Rasulullah Saw. Sebab Rasulullah-lah hamba yang paling dicintai oleh Allah.
Rasululloh Hadir itu Bukan Khayalan

Ketika kita bersholawat kepada Rasulullah Saw maka pada majelis itu Rasulullah hadir. Dan barang siapa yang berada di suatu tempat di mana Rasulullah hadir maka keseluruhan ruang tersebut bebas dari adzab. Orang barangkali tidak mempercayai kalau Rasulullah itu hadir dengan beranggapan beliau sudah wafat. Jasad atau badan-nya sudah pulang menyatu kembali dengan hakikatnya yakni tanah. Akan tetapi ruh atau ruhani Rasulullah tetap hidup dan hadir. Kita tidak bisa memandang Rasulullah dengan kaca mata materialisme bahwa segala sesuatu harus bisa dilihat dengan mata wadag, bahwa semuanya harus bisa dipanca-indrai dan bahwa kalau segalanya tak bisa dipanca-indrai maka sesuatu itu tak ada alias tak maujud, melainkan harus dengan kaca mata ruhaniah. Dengan demikian ketika kita mendengar kalimat bahwa Rasulullah hadir kita tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang khayal atau mustahil.
Rosululloh Jauh atau Dekat

Sama cara berfikirnya dengan keterangan tentang Rasulullah hadir itu khayal atau tidak, kalau kita membicarakan apakah Rasulullah itu jauh atau dekat maka mata pandang dan ukuran kita bukanlah pandangan geografis dan fisik, melainkan ruhani. Untuk itu kita harus mengacu pada ayat: Laqod jaakum rosulun min anfusikum azizun alaihima anittum harishun alaikum bil mukminina roufur rohiim. Sungguh benar-benar telah datang di tengah-tengah kalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang sangat tak tega menyaksikan penderitaan kalian, amat perhatian terhadap kalian, belas-kasih terhadap orang-orang yang percaya.

Segera kita catat dari ayat tersebut bahwa, pertama Rasulullah itu orangnya tidak tegaan. Kalau kita menderita, Rasulullah sangat ikut menderita dan bersedih. Bila kita susah, maka Rasulullah-lah yang pertama-tama turut merasakan kesusahan itu.

Kedua, Rasulullah itu langsung diberi oleh Allah dua sifat yang diambil dari sifat-Nya yaitu roufur-rohiim. Kalau umumnya kita memakai sifat Allah misalnya untuk kepentingan memberikan nama maka kita hanya diizinkan menggunakannya dengan syarat harus diimbuhi dengan misalnya kata Abdul. Misalnya: Abdul Malik, Abdurrahman, Abdul Aziz dan seterusnya. Tetapi khusus untuk Rasulullah, Allah memberinya sifat kepada Beliau dengan dua sifat-Nya yakni roufur-rohiim. Tentu saja Allah memahkotainya dengan dengan dua sifat tersebut karena memang Rasulullah layak menyandang dua sifat itu. Karena kepribadian Rasulullah sangat mencerminkan mutu sifat itu, lebih-lebih dalam hubungannya dengan umatnya. Jadi kedekatan Rasulullah itu sedemikian dalamnya dan sedemikian ruhaniahnya. Begitulah kualitas pribadi dan cinta Rasulullah kepada kita.
Segitiga Cinta

Seraya menegaskan kepada sudara-saudara kita yang barangkali cemas kepada sholawat bahwa pertama, sholawat itu tidak menuhankan Muhammad. Kedua, sholawat itu tidak menganggap Muhammad sebagai anak Tuhan. Kita mempelajari bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah adanya segitiga cinta. Di titik atas ada Allah, di titik kanan ada Muhammad Saw dan di titik kiri ada kaum Muslimin. Masing-masing titik itu disambungkan oleh garis sedemikian rupa sehingga terbentuk segi tiga. Dan segi tiga itu akan bermuatan cinta, sehingga bisa disebut segitiga cinta. Nah, sekarang kita lihat. Pada garis pertama, antara Allah dengan Rasulullah. Allah sangat mencintai Muhammad Saw dan sebaliknya Muhammad pun sangat mencintai Allah sehingga beres aliran cintanya. Kemudian pada garis kedua antara Allah dengan kaum Muslimin, Allah sangat mencintai kita, tetapi kita kadang ogah-ogahan kepada Allah. Sehingga Allah sering mengeluh, "Lho, Engkau ini bagaimana wahai jin dan manusia, Aku yang menciptakan Engkau, tapi Engkau menyembah yang selain Aku. Aku yang memberimu rizki tapi kamu berterima kasih kepada yang selain Aku."

Lantas garis yang ketiga, antara Muhammad dengan kita. Muhammad sangat mencintai kita. Muhammad melakukan tirakat untuk kita dan agar doanya tentang kita dikabulkan oleh Allah, Muhammad menempuh pengabdian sedemikian rupa supaya Allah pakewuh (merasa tidak enak) kepada Muhammad tertama yang menyangkut nasib kita. Mengapa demikian? Selain Allah pada pihak pertama, Muhammad juga punya kekasih berikutnya yaitu para sahabat. Yakni mereka yang hidup sejaman dan pernah bertemu dengan Rasulullah semasa hidupnya. Sedangkan yang tidak bernasib seperti sahabat alias yang hidup sesudah Rasulullah wafat itu bernama umat lslam.

Para sahabat sudah jelas nasibnya. Mereka hidup bersama-sama dengan Rasulullah berjuang dan lara lapa (menderita). Rasulullah sangat mencintai mereka dan selalu mendoakan mereka. Lantas bagaimana dengan umat lslam ini yang hidup setelah ditinggal wafat Rasulullah. Siapa yang mendoakan mereka?

Nah, Rasulullah itu tidak tega untuk meninggal dunia tanpa meninggalkan atau mewariskan mekanisme kabulnya doa atas nasib kita semua. Jadi bagaimana Allah akan mengabulkan doa kita kalau kita tidak melangsungkan lalu lintas segi tiga cinta itu. Dengan begitu mencintai Muhammad yang misalnya kita ungkapkan lewat sholawat adalah penyikapan yang logis, adil dan sewajamya saja terhadap kasunyatan perhubungan cinta antara Allah, Muhammad dan kita.

Demikianlah doa kita akan sampai arusnya kepada Allah kalau melewati Muhammad. Sebab bagaimana mungkin Allah mengabulkan doa kita kalau kepada kekasih-Nya kita bersikap acuh tak acuh. Allah ini sangat pencemburu dan romantis. Allah menghendaki keindahan pergaulan antara diri-Nya, Kekasih-Nya dan kita.
Sholawat membikin Akal Basah oleh Hati dan Hati Tegak oleh Akal

Untuk menjelaskan kalimat di atas kita memakai acuan salah satu ayat suci Al-Qur’an yang sudah sangat terkenal yakni La Yamassuhu lllal Muthohharun. Ayat ini lazimnya ditafsir secara fisik bahwa kalau kita sedang batal alias dalam kondisi tak berwudhu maka tidak diperbolehkan untuk menyentuhnya (Al-Qur’an). ltu benar sekali, terutama dari segi fiqih. Tetapi mari kita luaskan makna dan tafsir ayat tersebut misalnya dengan memahaminya begini: Kita tidak akan bisa bersentuhan dengan makna, hikmah, rizqi, barokah dan segala macam kandungan Al-Qur’an, jika kita tidak mengusahakan diri kita untuk terlebih dahulu muthohhar atau tersucikan. Tersucikan itu bahasa lainnya adalah tercerahkan. Dan soal cerah mencerahkan ini Allah sudah sejak dulu menawari manusia untuk bisa mencerahkan diri. Tercerahkan di bidang apa? Kita lihat dulu secara sederhana struktur jiwa manusia.

Dalam jiwa manusia ada tiga sisi atau unsur terpenting yakni akal, spiritual, dan mental. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa ketercerahan itu meliputi tiga sisi tersebut. Jadi tercerahkan secara akal atau muthahhar aqliyah, tercerahkan secara spiritual atau muthahhar ruhiyyah dan tercerahkan secara mental atau muthahhar nafsiyyah. Ketiganya akan memproduk ketercerahan akhlak atau muthahhar akhlaqiyyah. Umumnya orang hanya memiliki sebagian saja dari ketercerahan tersebut. Ada yang tercerahkan secara aqliyyah tetapi tumpul secara spiritual dan mental. Ada yang tercerahkan secara spiritual (mletik hatinya), tetapi gagap secara intelektual alias sempit wawasannya serta tidak kokoh mentalnya. Juga tak ketinggalan ada yang tercerahkan secara mental tapi buta secara intelektual dan spiritual.

Demikianlah kalau kita tidak mengupayakan diri agar utuh ketercerahannya maka kita akan tidak bisa bersentuhan dengan Al-Qur'an. Nah, bersholawat adalah salah satu jalan untuk mengutuhkan ketercerahan itu, agar kaffah. Agar tak cuma sesisi saja. Sholawat membikin akal basah oleh hati dan hati tegak oleh akal.
Sholawat Metode mengambil jarak dari Kesibukan Kerja Keras Sehari-hari.

Ketika kita suntuk bekerja atau melakukan sejumlah pekerjaan entah yang rutin atau yang tidak, umumnya kita mempunyai kecenderungan untuk capek, jenuh dan yang terpenting barangkali juga potensial mengidapkan pada diri kita keterasingan tertentu terhadap apa yang kita kerjakan. Pada saat seperti itu yang kita perlukan tak sekedar istiharat dan rekreasi, tetapi yang terpokok adalah pengambilan jarak terhadap situasi dan keadaan semacam itu agar kita bisa lebih mengendapkan batin dan pikiran, supaya segar jiwa kita dan siap melanjutkan pekerjaan-pekerjaan berikutnya. Demikian siklus wajar kemanusiaan yang dialami oleh orang. Dalam memenuhi kebutuhan untuk rekreasi dan pengambilan jarak itu orang menempuh banyak hal mulai yang positif sampai yang negatif. Yang positif misalnya orang pergi rekreasi menikmati suasana alam di pantai atau di gunung, plesir ke luar kota dan sebagainya. Yang negatif umpamanya orang menenggak minum-minuman keras, atau berjudi. Nah, sholawat hadir sebagai salah satu pilihan yang berposisi praktis, berdimensi dunia akherat langsung, dalam memenuhi kebutuhan untuk pengambilan jarak tersebut. Meskipun tentu saja ini hanya satu sisi belaka dari sekian dimensi sholawat yang sudah ada dan akan diuraikan singkat dalam tulisan ini.

Sholawat juga jauh lebih positif secara medis, moral-sosial, keilmuan dan ukhrawi daripada menenggak narkoba atau bahkan dibanding nonton film sekalipun. Dengan menikmati sholawat-sholawat kita akan memperoleh kenikmatan dan kepuasan batin yang lnsya Allah lebih ruhaniah dan sejati. Sholawat merupakan jalan yang lebih selamat dan menyelamatkan ditinjau dari berbagai sisi dan sudut.
Sholawat Membuka llmu

Sekarang kita memasuki sisi lain dari Sholawat. Selain sebagai jalan untuk mengintensifkan cinta kita kepada Rasulullah, Sholawat juga memberi peluang bagi terbukanya pintu-pintu ilmu. Lihatlah misalnya Sholawat Nurul Musthofa. Musthofa itu artinya terpilih. Nurul Musthofa itu berarti cahaya yang terpilih. Dan inilah makhluk Allah yang pertama. Makhluk Allah Swt yang pertama ini adalah seberkas cahaya yang dinamai Nur Muhammad. Allah sangat mencintai makhluk pertama ini sedemikian rupa sehingga Allah mempunyai alasan untuk menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk kita semua. Allah mengatakan dalam hadist qudsinya, lau laka ya Muhammad ma kholaqtu al aflaka jika tidak karena engkau Muhammad - maksudnya cahaya tadi- maka aku tidak akan ciptakan apapun yang lain. Kelak cahaya ini akan diwujudkan oleh Allah secara biologis, sosiologis dan historis menjadi Muhammad Saw. Artinya diwujudkan sosoknya, sepak terjangnya dan sejarah hidupnya. Jadi ada beda antara Muhammad jasmaniah dan Muhammad ruhaniah.

Dari Sholawat Nurul Musthofa, selain kita peroleh keindahan dan kenikmatan bercinta dengan Muhammad, kita juga peroleh ilmu pengetahuan. Ilmu tentang apa? Ialah ilmu tentang sejarah penciptaan alam semesta. Yang barang kali ilmu pengetahuan modern sekarang ini belum mencapai dan mengatakannya. Bahwa makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah bukan siapa-siapa melainkan Nur-Muhammad tadi.
Sholawat Membuka Cara Pandang

Sesudah membuka pintu rahasia ilmu, Sholawat juga memungkinkan kita untuk memperoleh cara pandang atau yang lazim disebut perspektif. Maksudnya dengan menghikmahi sholawat, kita bisa menjadikan Sholawat sebagai pintu pengantar untuk merenungi segala sesualu yang terjadi dalam hidup kita. Lihatlah misalnya sholawat lnna Fil Jannah.

lnna fil jannati nahran min laban, li aliyyin wa husainin wa hasan : Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang terbuat dari air susu. Yang diperuntukkan bagi Ali, Hasan, dan Husain. Hasan dan Husain itu putra Ali bin Abi Thalib yang terbunuh di peperangan antar ummat lslam. Bahkan Sayyidina Hasan diracun oleh istrinya sendiri. Sehingga sejelek-jelek nasib kita masih menderita Sayyidina Hasan dan Husain.

Dari Sholawat ini tinggal kita cari proyeksinya dalam hidup sehari-hari kita. Artinya sesungguhnya kita mempunyai potensi ke-Hasan-an dan ke-Husain-an sendiri-sendiri di berbagai bidang kehidupan kita masing-masing. Dan kalau kita mengalami kedhoifan, kemustadh’afinan, keghoriban (keterasingan) dan kemazhluman (terzholimi) sebagaimana yang menimpa diri Sayyidina Ali, Hasan dan Husain, maka itu berarti Allah menjanjikan sungai susu di surga. Sebagaimana dalam kasus Abu Bakar menebus Bilal dari perbudakan Abu Jahal, maka dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa membatin dan mendiskusikan sekarang ini, siapa Hasan dan Husain-nya? Abu Jahal-nya siapa? Orang ini akan menjadi Hasan dan Husain atau Abu Jahal dan seterusnya. Demikianlah Sholawat-Sholawat mempunyai relevansi dengan kehidupan kita.
Sholawat: Kenapa harus dengan Alat Musik?

Pembacaan Sholawat pada acara-acara tertentu biasanya diiringi dengan (alat) musik. Kenapa memakai musik? Karena musik berhak masuk surga. Seluruh peralatan-peralatan musik itu kita ajak mencintai Rasulullah. Kita tidak egois dalam bersholawat. Jadi, prinsipnya sangat sederhana. Bukan soal mencampur-adukkan antar seni dan agama. Sebab perlu diketahui begitu agama lahir belum terbedakan, apakah ini seni atau agama. Pada awalnya tak ada beda antara keduanya.

Kata seni baru muncul ketika orang-orang (modern) mencoba menarik dan mengambil jarak dari dirinya sendiri kemudian menatapnya dari kejauhan., lantas mereka mengatakan dan merumuskan dirinya sendiri seraya memunculkan nama-nama untuk memberi tanda bagi bagian-bagian hidupnya. Maka muncullah istllah: ini seni, ini sosial, ini hukum dan lain seterusnya. Dalam keberagaman yang total sudah tak terasa lagi apakah ini agama atau seni. Yang menjadi masalah dan tentunya adalah apakah sesuatu itu benar atau tidak? Apakah sesuatu itu semakin mendekatkan kita kepada Allah dan Rasul-Nya atau tidak?
Sholawat: Merintis Perlawanan Terhadap Dajjalisme

Kita tentu pemah mendengar nama Dajjal. Dajjal itu salah satu pekerjaannya adalah membelah dunia dan kehidupan manusia menjadi dua kutub. Dua kutub inilah yang menjadi poros dan titik tolak dari cara pandang dan cara tindak banyak orang. Ada Timur ada Barat. Ada Utara ada Selatan. Ada atas ada bawah. Ada pusat ada pinggiran. Dan seterusnya. Kutub-kutub ini sangat rentan untuk membenihkan bibit-bibit perlawanan antar penghuni kutub, membenihkan bibit-bibit kerusakan di antara mereka. Dajjal adalah pelaku utama yang memberikan dan menentukan apa muatan yang musti dikandung bibit-bibit itu. Pengkutuban ini berlaku di berbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, politik, dan seni. Dalam kesenian misalnya pengkutuban tersebut bisa terlihat dari adanya mekanisme produsen konsumen, pedagang-pembeli, penonton-yang ditonton.

Dalam acara-acara Sholawat kita mencoba untuk tidak memakai cara berpikir seperti pertunjukkan dengan menghancurkan batas antara keduanya. Tak ada penonton, tak ada pementasan. Yang ada adalah kebersamaan, saling mensubyeki acara Sholawat. Artinya, kita semua adalah satu himpunan, satu keluarga. Tidak sebagaimana dalam pertunjukkan modern itu. Itulah beda antara acara Sholawatan (yang bersama-sama) dengan dunia seni modern.
Sholawat: Fungsi Secara Biologis dan Medis

Orang lain boleh percaya atau tidak tentang satu hal ini. Bahwa Sholawat itu mempunyai fungsi biologis dan medis. Dengan membaca dan menikmati Sholawat, kita apalagi dengan berjamaah, kita akan memperoleh regangan-regangan otot dan pencerahan-pencerahan urat syaraf serta pembersihan sel-sel otak. Kita mencoba merasakan dan membuktikan hal itu. Sama dengan kalau kita bersujud. Kita meletakkan kening kita di tanah. Debu-debu tanah yang menyentuh dan mengenai dahi kita itu akan membersihkan kotoran-kotoran elektronik di dalam otak kita. Sehingga semakin rajin kita bersujud akan semakin jemih pikiran dan otak kita. Kecuali jika kita merusaknya lagi. Di sini letak pentingnya ilmu. Banyak orang bersembayang tetapi tetap saja rusak dan tidak menghasilkan munculan-munculan yang bermanfaat di masyarakat. Apa pasalnya? Soalnya mereka bersembahyang tanpa dilandasi dan dilengkapi dengan ilmu - dalam pengertian yang lebih luas dari fiqih. Mereka hanya menjalani dan mengalami rahmat shalat tapi tidak mengilmui-nya sehingga yang lahir bukannya barokah melainkan ketidakmanfaatan dan ketidak-kaffahan dalam menempuh hidup. Itulah sebabnya di samping melakukan dan menikmati (rahmat) Sholawat, kita juga mengembarai cakrawala ilmu Sholawat yang amat luas, mulai dari yang sederhana sampai yang menyangkut hal-hal medis dari Sholawat yang orang lain belum tentu menyetujuinya, agar bukan hanya rahmat yang kita punya, tapi juga barokah - sebagaimana tulisan ini diniatkan dan tujukan.
wallohu a'lam.
Sumber: bangbangwetan.com

Tidak ada komentar:

Translate