-->


"Kami tidak lebih hanyalah para penuntut ilmu yang fakir dan hina. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan Ahlus Sunnah Waljama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rosulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari Salafunas Sholih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, sumbernya langsung sampai ke Baginda Rosulullah SAW.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah.


Cari Blog Ini

Selasa, 29 Mei 2012

Resensi Qawâ’id Usul fiqh


Judul Buku : Qawâ’idu al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm
Penulis        : Abû Muhammad ‘Izzuddîn Ibn’Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al-Sâlâm (578-660 H)
Pentahqîq   : Mahmûd ibn al-Talâmîdz al-Syinqîthî
Penerbit      : Dâr al-Ma’rifah Beirut
Halaman    : 208

Mengkaji kitab ini, sama saja kita mengamati titik awal matanganya Qawâ’id Fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri, setelah sebelumnya sempat bersatu, atau dikesankan sama, dengan Ushul Fiqih dalam madzhab Hanafiah. Disiplin ilmu yang terakhir disebut ini, kita tahu, mengalami perkembangan yang berlika-liku, lintas madzhab, dan pernah mengalami semacam fusi dan difusi terhadap disiplin ilmu lain dan dalam dirinya sendiri. Ushul Fiqih pernah diproklamirkan oleh sebagian ulama bak lahan tempat menguak semua petunjuk lafadz Quran-Sunnah secara multidispliner—dengan kata lain, tersusun dari semua cabang ilmu demi melayani Teks. Kecenderungan fusi semacam ini menguat, mengingat doktrin agama percaya bahwa Quran-Sunnah, sebagaimana misi Islam, akan selalu sesuai sepanjang zaman dan bagi seluruh orang—karena itu, sangat logis untuk mengatakannya “merangkum” seluruh intisari ilmu sepanjang zaman.

Namun, seperti bisa kita tebak, pendapat itu sulit diejawantahkan dan dengan segera Ulama lain mengkritik dan me-rekaulang bagaimana ia harus diposisikan. Maka terjadilah difusi: nahwu, sharaf, balaghah, logika, dan juga qawâ’id fiqhiyyah akhirnya dilepaskan dari Ushul Fiqih, kecuali sebagian kecil yang wajar sekali dibutuhkan.

Kita juga tahu, kitab karya satu-satunya orang yang berjuluk “Raja Para Ulama” ini bukanlah kitab Kaedah Fiqih pertama dalam sejarah Fiqih Islam. Sebelumnya, berderet kitab-kitab keren oleh para ulama beken, dari madzhab Hanafiah dan Malikiah. Diantara yang bisa terlacak sejarah hingga kini adalah Abû al-Hasan al-Karkhî (w. 340) dari Hanafiah dengan Ushûl al-Karkhî, al-Khusynî (w. 361) dari Malikiah dengan Ushûl al-Futyâ fî al-Fiqh ‘alâ Madzhab al-Imâm Mâlik, dan Abû Zaid al-Dabûsî (w. 430) sekali lagi dari Hanafiah dengan Ta`sîs al-Nadhar. Dari Syafi’iah sebenarnya pernah terbit kitab sejenis oleh Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Jâjarmî al-Sahlakî (w. 613) dengan judul al-Qawâ’id fî Furû’ al-Syâfi’iyyah. Namun, dengan munculnya al-Qawâ’id al-Kubrâ, nama lain dari Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, oleh al-‘Izz (singkatan dari ‘Izzuddîn ibn ‘Abd al-Salâm) yang lebih komplit, maka yang terakhir ini disebut sebagai yang terpenting dari Kaedah Fiqih awal dalam Syafi’iah.

Sebelum menbedah isi kitab, izinkanlah saya melanjutkan lebih lanjut uraian tentang dalam cabang mana kitab ini ditulis.

Bukan karena Abû al-Hasan al-Karkhî yang pertama menerbitkan kitab sejenis ini, lantas dikatakan bahwa sebelumnya tak ada sama sekali bibit kaedah fiqih. Namun, sebagaimana hikayat dari al-‘Alâî al-Syâfi’î (w. 761), al-Suyûthî (w. 911), dan Ibn Najîm (w. 970), bibit pokok kaedah tebesar dalam cabang ini, yang kemudian disebut al-Qawâ’id al-Kulliyyah al-Kubrâ, yang sangat terkenal berjumlah lima itu, terlontar dari mulut ulama Hanafiah, Abû Thâhir al-Dabbâs. Konon, Abû Sa’d al-Harawî al-Syâfi’î pernah menjenguk al-Dabbâs ketika sakit, mendengarnya mengulang-ulang tujuhbelas kaedah pokok ala madzhab Abû Hanîfah yang ia kumpulkan, tiap malam selepas jama’ah bubar dari masjidnya. Diantara yang kemudian begitu masyhur dan disepakati dalam semua madzhab ada lima: al-Umûr bi Maqâshidihâ, al-Yaqîn lâ Yazûlu bi al-Syakk, al-Masyaqqah Tajlib al-Taisîr, al-Dlarar Yuzâl, dan al-‘Âdah Muhakkamah.

Dengan mempelajari lebih lanjut cabang ilmu ini beserta sejarahnya, kita akan tahu, seringkali oleh para Fuqaha` ia dibuat menghukumi masalah seperti sebuah dalil bekerja. Kita tahu, dalam Ushul Fiqih, hanya yang punya landasan Quran-Sunnah, secara jelas maupun lewat qiyas, yang bisa dibuat landasan hukum. Lalu bagaimana kaedah ini? Termasuk bid’ah-kah????

Kita akan dengan mudah terperosok pada klaim mengerikan ini—diantara kita semua, apalagi kita, tak akan sulit mengingat kembali ancaman neraka bagi pelaku bid’ah, apapun itu, dalam sebuah Hadits Nabi—bila tak kembali pada sejarah masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in, bahkan Tabi’ut Tabi’in. Apalagi, setelah diteliti ulang, bukannya al-Dabbâs atau Abû Hanîfah berbuatngawur dengan membuat dalil tandingan Quran-Sunnah. Tapi, tiap butir dari lima Kaedah Universal Fiqih itu terkait dengan satu atau lebih ayat Quran atau Sunnah. Sehingga wajar sebagian ulama, seperti Imam al-Haramain dan Ibn Najîm, secara implisit tak menganggapnya sebagai dalil mandiri, pengganti Quran-Sunnah. Namun, karena kelimanya terkait begitu erat dengan dalil yang sesungguhnya, maka tak mengurangi keabsahannya dalam menghukumi suatu masalah.

Pada masa Nabi, ditemukan banyak sekali Sunnah yang berkarakter kaedah semacam ini. Diantara yang paling tekenal adalah Lâ Dlarar wa lâ Dlirâr. Oleh para Fuqaha` Sahabat, Sunnah-sunnah kaedah semacam ini dibuat menghukumi begitu banyak masalah, bahkan melampaui konteks ketika Sunnah itu keluar. Para Sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththâb ra dan ‘Ali ibn ‘Abd al-Muththalib kw, juga kerap mempermudah memahami hukum suatu masalah dengan membingkainya dalam bentuk kaedah. Tradisi ini kemudian berlanjut pada masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in sampai masa Imam Madzhab Empat. Nampaknya, sekarang kian bermunculan kitab-kitab yang melacak secara khusus, dari sela-sela kitab fiqihnya, beragam kaedah fiqih dari al-Syâfi’î dan Ibn Hanbal, misalnya.

Jika kemudian saya berkata setelah uraian agak detil ini, itu bahwa tradisi berkaedah fiqih bukanlah hal yang baru dalam Islam. Sehingga klaim bid’ah, dalam hal ini, otomatis salah sasaran.

Masuk isi kitab dan menelaahnya, kita akan merasa dan tahu alasan kenapa kitab Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm ini, oleh ulama dan sejarawan, dibuat bukti paling kuat bahwa sang pengarangnya, ‘Izzuddîn ibn ‘Abd al-Salâm, dimasukkan dalam deretan ulama Maqâshid al-Syarî’ah, sebelum puncaknya jatuh di tangan al-Syâthibî pada abad ketujuh Hijriah. Dalam kitab ini, ia mengembalikan semua hukum Syari’at pada kaedah Dar`u al-Mafâsid wa Jalb al-Mashalih (Mencegah Kerusakan dan Menarik Kemaslahatan). Allah tak memerintahkan sesuatu kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan, sebagaimana Allah tak melarang sesuatu kecuali untuk mencegah kerusakan.

Dari kitab ini kita merasa bahwa al-‘Izz berusaha menguak apa yang ada di balik beragam hukum Syari’at. Menurutnya, seperti lebih lanjut akan kita ketahui secara implisit, hukum-hukum Syari’at yang bervariasi dan sangat menyentuh nyaris seluruh aspek kehidupan manusia, dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit sekalipun, bukannya tak berkaitan satu sama lain. Namun, dalam kerumitan itu, terdapat benang merah bahwa kesemuanya tak diturunkan dari langit kecuali demi mewujudkan maslahat hidup. Apa yang dilakukan al-‘Izz dalam kitab ini bisa kita katakan masuk tataran Takwil, atau dengan bahasa lebih filosofis, Hermeneutika.

Langkah hermeneutik ini terlihat ketika ia menyetir ayat يا أيها الذين أمنوا dalam bab mengenai penjelasan tujuan kitab, seraya berkata bahwa segala kerusakan yang dijelaskan dalam Quran, sebagai Kitab Suci umat Islam, tak diabadikan kecuali untuk selalu dianjurkan menjauhinya. Sebagaimana segala kemaslahatan yang dijelaskan dalam Quran tak diabadikan kecuali untuk selalu dianjurkan memenuhinya.

Langkah ini menurut penulis sangat revolusioner. Karena dengan pendapatnya diatas, seakan Raja Para Ulama ini membuat ayat-ayat Quran lebih hidup, langsung berinteraksi dan lebih akrab dengan manusia: anjuran menjauhi kerusakan tak perlu lagi menunggu fi’il nahy, tapi cukup dengan diuraikannya kerusakan dan akibat buruknya bagi hidup; begitu pula terhadap kemaslahatan, tak perlu lagi menunggu fi’il amr.

Namun, meskipun begitu hidup, agaknya kita harus membedakannya dengan apa yang dilakukan oleh al-Ghazâli dalam Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn. Bila yang dilakukan al-‘Izz disini lebih mengarah pada rasionalisasi hukum Syari’at, karenanya wilayah mu’amalat lebih dominan dari yang lain, maka al-Ghazali dalam al-Ihyâ`, sebagaimana ia merupakan kitab bergenre Tasawuf praksis, lebih fokus pada wilayah aqidah dan ibadah dan apa saja yang berkaitan dengan pembersihan hati untuk menuju Sang Dambaan Hati—meski diakui, sesekali juga merasionalisasi hukum mu’amalat.

Dari segi penerbitan, kitab yang sebenarnya luar biasa ini agak ternodai secara ilmiah karena percetakan Dâr al-Ma’rifah Beirut, tak menyertakan tahun penerbitan. Mungkin pada zaman dahulu hal semacam ini tak bermasalah, karena industri penerbitan dan gerakan Tahqîq al-Turâts (Penelitian Turats) secara ilmiah tak semarak seperti sekarang ini, tapi zaman ini? Selain itu, Penerbit juga tak melampirkan sebagian scanned print-out dari naskah asli kitab ini ditemukan, kecuali hanya menyebut sekilas, di halaman judul, bahwa terbitan ini berasal dari naskah telaahan yang ditulis oleh seorang Ahli Bahasa, Mahmûd ibn al-Talâmîd al-Syinqîthî, dan ditemukan dari perpustakaan Turats terkenal di Mesir, Dâr al-Kutub al-Mulkiyyah al-Mishriyyah. Kitab cetakan ini juga tak menyertakan Kata Sambutan dari Penerbit dan Metodologi Pentahqîq, cetakan keberapa, sekaligus kru yang berada di balik percetakan, apalagi jenis kertas yang dipakai, ukurannya, beratnya, dan jumlah total halamannya. Meskipun demikian, penulis memberanikan diri mengambil kitab cetakan ini sebagai objek resensi, namun dengan konsekuensi akan menjelaskannya dalam tulisan, seperti yang sudah Anda baca baru saja.

Alâ kulli hâl, bagi pembaca yang pernah membaca kitab-kitab Kaedah Fiqih lain, ketika membaca Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm ini akan melihat betapa jelas sumbangsih ijtihad ‘Izzuddîn ibn ‘Abd al-Salâm bagi Fiqih dan Ushul Fiqih sekaligus. Pembaca juga akan merasa betapa hidup dan leluasa uraiannya dalam kemungkinannya ditarik ke wilayah yang lebih luas dan universal: filsafat hukum. Apa yang bisa didapat bagi seorang muslim-muslimah setelah itu adalah pegangan kuat untuk dibuat merenungi ayat-ayat Quran dan menarik hukum-hukum praktis keseharian dari sana secara langsung.
Wallohu A'lam,.

Tidak ada komentar:

Translate