-->


"Kami tidak lebih hanyalah para penuntut ilmu yang fakir dan hina. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan Ahlus Sunnah Waljama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rosulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari Salafunas Sholih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, sumbernya langsung sampai ke Baginda Rosulullah SAW.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah.


Cari Blog Ini

Selasa, 24 April 2012

Hukum Membaca Yasin Untuk Orang Mati Adalah Sunnah



SEBUAH ISYARAT DARI IMAM AN-NAWAWI DALAM AL-ADZKAR
Sebelumnya, terlebih dahulu perhatikan komentar dan isyarat Syaikhul Madzhab Syafi’iyah yakni Imam al-Hafidz an-Nawawi rahimahullah. Didalam al-Adzkar beliau telah menyebutkan haditsnya sebagai berikut :

  وروينا في سنن أبي داود، وابن ماجه، عن معقل بن يسار الصحابي رضي الله عنه، أن النبيّ صلى الله عليه وسلم قال: " اقْرَؤُوا يس على مَوْتاكُمْ " قلت: إسناده ضعيف، فيه مجهولان، لكن لم يُضَعِّفه أبو داود
“Kami meriwayatkan didalam kitab Sunan Abi Daud dan Ibnu Majah, dari Ma’qil bin Yasar ash-Shahabi radliyallahu ‘anh, bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda : “bacalah oleh kalian Yasin untuk orang mati diantara kalian”. Aku (an-Nawawi) katakan : isnadnya dlaif, didalamnya terdapat dua orang yang majhul, akan tetapi Abu Daud tidak mendlaifkannya.

Menurut Imam an-Nawawi sanadnya dlaif, akan tetapi Abu Daud tidak mendlaifkannya. Ini menunjukkan bahwa hadits tersebut memang bisa di terima ;

  • Pertama, karena Imam an-Nawawi sendiri telah mencantumkannya pada kitab beliau yakni al-Adzkar. Ini memang bukan kaidah dalam penerimaaan hadits, namun setidaknya kita tahu ulama Syafi’iyah menerimanya sebagai landasan beramal. Oleh karena itu, seandainya ada yang menilai keseluruhan hadits adalah dlaif (walaupun itu tidak ada), maka Imam an-Nawawi telah menyatakan diawal-awal kitab al-Adzkar,

  فصل‏:‏ قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم‏:‏ يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً
  “Ulama dari kalangan Muhadditsin, Fuqaha’ dan yang lainnya berkata : “boleh dan dianjurkan beramal dalam fadlail, targhib dan tarhiib dengan hadits dlaif yang bukan maudlu’ (palsu)”. [1]

  • Kedua, karena Imam an-Nawawi juga telah mengisyaratkannya bahwa Abu Daud tidak mendlaifkannya, yang berarti bahwa Abu Daud mendiamkannya (tidak mengomentarinya),[2] dengan kata lain hadits tersebut kualitasnya adalah hasan, sesuai dengan kaidah Abu Daud yakni apabila beliau mendiamkannya maka hadits tersebut shalih (bagus).[3]

Dari hal diatas saja sudah jelas bahwa hadits tersebut tentang membaca Yasiin untuk orang mati adalah hasan. Oleh karena itu, selayaknya diamalkan dan apa yang sudah masyhur di lingkungan masyarakat Islam tetapi di lestarikan, tanpa perlu menghiraukan paham-paham baru yang meresahkan umat Islam.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh :

  • Imam an-Nasaa’i didalam As-Sunan al-Kubraa,[4]
  • Imam Ibnu Hibban didalam shahihnya,[5]
  • Imam ath-Thabrani didalam al-Mu’jam al-Kabiir,[6]
  • Imam al-Baihaqi didalam As-Sunan ash-Shaghir,[7]
  • Imam al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah,[8]
  • Imam Hakim didalam al-Mustadrak[9] ,
  • Imam Ahmad didalam Musnadnya[10] dan juga
  • Imam Ibnu Majah didalam As-Sunan.[11]

SYAWAHID ATAS PEMBACAAN YASIIN

Selain itu, terdapat juga terdapat syawahid atas hadits pembacaan surah Yasiin untuk orang mati, salah satunya adalah  yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya :

 حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ، حَدَّثَنِي الْمَشْيَخَةُ، أَنَّهُمْ حَضَرُوا غُضَيْفَ بْنَ الْحَارِثِ الثُّمَالِيَّ، حِينَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ، فَقَالَ: " هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس؟ " قَالَ: فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السَّكُونِيُّ، فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ مِنْهَا قُبِضَ، قَالَ: وَكَانَ الْمَشْيَخَةُ يَقُولُونَ: إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا قَالَ صَفْوَانُ: " وَقَرَأَهَا عِيسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ عِنْدَ ابْنِ مَعْبَدٍ "
  “Menceritakan kepada kami Abul Mughirah, menceritakan kepada kami Shafwan, menceritakan kepadaku para syaikh (masyayikh) bahwa mereka menghadiri Ghudlaif bin Harits ats-Tsumali ketika beliau menghadapi sakitnya maut, maka ia berkata : “apakah diantara kalian mau membacakan Yasiin ?” Ia (Shafwan) berkata, maka Shalih bin Syuraij as-Sakuniy membacanya (Yasiin), tatkala sampai pada ayat ke 40 lalu Ghudlaif wafat, Ia (Shafwan) juga berkata : “Para guru (masyayikh) mereka berkata : “apabila dibacakan samping mayyit niscaya Allah akan meringankan karena bacaan tersebut”, Shafwan berkata : “’Isa bin al-Mu’tamir telah membaca Yasiin di samping Ibnu Ma’bad”.[12]

Ibnu Sa’ad [w. 230 H] telah mentakhrijnya hadits ini didalam kitab Thabaqat al-Kubraa[13] pada keterangan tentang Ghudlaif bin al-Harits radliyallah ‘anh dari jalur riwayat Shafwan. Sedangkan isnad hadits ini, para-para perawinya adalah tsiqah (terpercaya). Ibnu Hajar al-Asqalani menghukumi hadits ini sanadnya hasan didalam kitab al-Ishabah.[14] Shafwan adalah Ibnu Amrin as-Saksaki, sementara para guru beliau adalah para tabi’in. Ghudlaif bin al-Harits sendiri adalah orang sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Anjuran beliau agar dibacakan Yasiin ketika menjelang maut menunjukkan bahwa itu memang tauqif, maka hukum membaca Yasiin ketika menjelang maut adalah marfu’ sebagaimana ditetapkan dalam kaidah ilmu hadits.

Adapun perkataan para guru (masyayikh) yakni “apabila dibacakan disamping mayyit niscaya Allah akan meringankan karena bacaan tersebut”, maka para guru tersebut adalah sekumpulan tabi’in, sedangkan perkataan mereka hukumnya adalah mursal menurut sebagian ahli hadits. Hadits mursal apabila di dukung dengan hadits atau qiyas dalil maka itu merupakan hujjah menurut kaidah ushul fiqh Imam Syafi’i rahimahullah.

Sedangkan atsar yang diriwayatkan dari Ghudlaif bin al-Harits radliyallah ‘anh memiliki juga jalur lain sebagaimana telah di takhrij oleh Imam Ibnu Asakir [w. 571 H] didalam Tarikh Damsyiq [15]. Dari hadits Sa’id bin Manshur,

حدثنا سعيد بن منصور حدثنا فرج بن فضالة عن أسد بن وداعة قال لما حضر غضيف بن الحارث الموت حضر إخوته فقال هل فيكم من يقرأ سورة يس فقال رجل من القوم نعم فقال إقرأ ورتل وأنصتوا فقرأ ورتل وأسمع القوم فلما بلغ " فسبحان الذي بيده ملكوت كل شئ وإليه ترجعون "  فخرجت نفسه قال أسد بن وداعة فمن حضره منكم الموت فشدد عليه الموت فليقرأ عليه يس فإنه يخفف عليه الموت "
  “Menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur, menceritakan kepada kami Faraj bin Fadlalah dari Asar bin Wada’ah, ia berkata : tatkala menghadiri Ghudlaif bin al-Harits yang sekarang maut juga hadlir saudaranya, maka ia berkata : Apakah diantara kalian ada yang akan membaca Yasiin ?”, maka seorang laki-laki dari sebuah kaum berkata “ Iyaa”, beliau berkata : “Bacalah, tartilkan dan dengarkanlah oleh kalian”, maka ia membaca, bertartil serta kaum (yang hadlir) mendengarkannya, ketika sampai pada ayat “Subhanalladzii bi-Yadihii Malakutu Kulli Syay-in wa Ilayhi Turja’uun”, maka ia menghembuskan nafasnya (terakhir), Asad bin Wada’ah berkata : maka barangsiapa diantara kalian yang menghadliri maut dan kesulitan dalam mautnya, maka bacakanlah Yasiin atasnya niscaya Allah meringankan (memudahkan) maut atasnya”.

Sa’id bin Manshur adalah seorang al-Hafidz yang tsiqah (terpercaya), sementara guru beliau yakni Faraj bin Fadlalah bin an-Nu’man at-Tanukhi asy-Syami ad-Dimasyqi adalah seorang yang katakan dlaif.[16] Sebagian ulama mengatakan ia tsiqah. Asad bin Wada’ah adalah orang Syam. Ibnu ‘Asakir telah memuji beliau didalam Tarikh al-Kabiir. Ibnu Hibban telah menyebutkan terkait Asad bin Wada’ah didalam Tsiqat at-Tabi’iin. Maka kedlaifan isnad Ibnu Asakir, telah di tutupi isnad Imam Ahmad bin Ibnu Sa’ad. Yang mana para perawinya adalah tsiqah, sedangkan Ibnu Hajar al-Asqalani menghukumi sanadnya hasan sebagaimana didalam kitab al-Ishabah.

Karena Asad bin Wada’ah merupakan seorang tabi’in, maka perkataan beliau menempati derajat mursal sebagaimana pembandingnya yang telah disebutkan sebelumnya.

Oleh karena itu, hadits pembacaaan Yasiin untuk orang mati baik yang muhtadlar (menjelang mati) atau yang sudah mati adalah berderajat hasan, bukan dlaif seperti sangkaan beberapa kalangan.

APAKAH HANYA UNTUK AL-MUHTADLAR ?

Persoalan ternyata tidak berhenti pada isu mengenai kualitas hadits, namun juga mengenai kepada siapa surah Yasiin di bacakan ; apakah kepada yang menjelang mati atau kepada yang sudah mati. Hal ini juga sering dipermasalahkan namuan sebenarnya sudah terjawab baik oleh lafadz hadits dengan sendiri maupun oleh para ‘Ulama.

Imam al-Hafidz Murtadlaa Az-Zabidi didalam Ithaf As-Sadah al-Muttaqin menjelaskan :

ومما يشهد لنفع الميت بقراءة غيره حديث معقل بن يسار " اقرؤوا على موتاكم " رواه أبو داود وحديث " يس ثلث القرءان لا يقرأها رجل يريد الله والدار الآخرة إلا غفر له فاقرؤوها على موتاكم " رواه احمد وأول جماعة من التابعين القراءة للميت بالمحتضر والتأويل خلاف الظاهر ، ثم يقال عليه إذا انتفع المحتضر بقراءة يس وليس من سعيه فالميت كذلك والميت كالحي الحاضر يسمع كالحي الحاضر كما ثبت في الحديث انتهى ما نقلته من كلام ابن القطان
Dan termasuk dari syawahid bermanfaatnya bagi mayyit dengan membaca al-Qur’an oleh orang lain adalah hadits Ma’qil bin Yassar : “bacalah oleh kalian atas orang mati diantara kalian”, diriwayatkan oleh Abu Daud, dan hadits “bacalah oleh kalian Yasiin atas orang mati diantara kalian”, diriwayatkan oleh an-Nasaa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban "Yasiin merupakan sepertiga al-Qur’an yang tiada dibacanya oleh seseorang yang menginginkan Allah dan negeri akhirat melainkan Allah akan memberi ampunan baginya, maka bacalah oleh kalian Yasiin atas orang mati diantara kalian”) dan kelompok tabi’in menta’wil bahwa itu pembacaan untuk orang mati yang al-muhtadlar (menjelang mati), padahal ta’wil tersebut menyelisihi dhahirnya, kemudian dikatakan atasnya, apabila orang yang hampir mati mendapatkan manfaat dengan pembacaan Yasiin padahal bukan dari usahanya maka mayyit (orang mati) pun demikian juga, dan mayyit seperti orang yang hidup yang hadlir yang mendengar seperti orang yang hidup yang hadlir, sebagaimana telah tsabit didalam hadits. Intahaa apa yang kami nukil dari kalam Ibnu al-Qaththan”. [18]

Demikian juga ditegaskan oleh al-Imam asy-Syaukani didalam Nailul Awthar :

  واللفظ نص في الأموات وتناوله للحي المحتضر مجاز فلا يصار إليه إلا لقرينة
“Lafadz hadits tersebut merupakan nas pada orang-orang (yang sudah) mati, sedangkan mengartikannya untuk orang hidup menjelang mati (al-muhtadlar) merupakan majaz, maka tidak boleh bawa pada pengertian tersebut kecuali ada qarinah”.[19]

Jadi, pengalihan kepada makna untuk orang yang hidup menjelang mati merupakan majaz, bukan makna hakiki dari lafadz tersebut. Oleh karena berlaku kaidah Imam asy-Syafi’i rahimahullah yang mafhumnya yakni didahulukan makna dhahir baik al-Qur’an maupun hadits selama tidak adasebab (qarinah) yang mewajibkan menggunakan makna lainnya. Sedangkan dalam hadits tersebut tidak ada qarinah mani’ah (sebab yang menghalangi) maka maksud “Mautakum” adalah memang kepada mayyit yang hakiki (orang yang sudah mati). Ringkasnya hadits perintah pembacaan surah Yasiin untuk orang mati mencakup yang al-muhtadlar juga yang benar-benar sudah mati.

SALAF MENGAMALKAN PEMBACAAN AL-QUR’AN UNTUK ORANG MATI

Dari hal diatas sebenarnya sudah jelas bahwa salafush shaleh mengamalkannya, namun ada baiknya dipaparkan juga terkait hadits wasiat Ibnu Umar, yang mana Imam Murtadlaa Az-Zabidi telah menjelaskan dengan jelas tentang naiknya derajat dari mauquf hadits kepada marfu’ yang hasan, pada halaman yang sama beliau berkata :

وأما قول ابن عمر فقد روى مرفوعا رواه البيهقى فى الشعب عن ابن عمر قال : سمعت رسول الله صلى الله علسه وسلم يقول اذا مات احدكم فلا تحبسوه وأسرعوا به الى قبره وليقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة  وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة))- رواه الطبرنى كذلك الأ انه قال  عند رأسه بفاتحة  الكتا ب.
“Adapun ucapan Ibnu Umar, maka sungguh telah diriwayatkan secara marfu’ yakni al-Baihaqi telah meriwayatkannya dalam asy-Syu’ab dari Ibnu Umar, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “apabila salah seorang diantara kalian meninggal dunia, janganlah kalian menunda-nunda, segerakanlah oleh kalian mengurus pekuburannya, dan hendaklah bacakan disamping kepalanya dengan pembukaan surah al-Baqarah dan disamping kakinya dengan mengkhatamkan surah al-Baqarah”, diriwayatkan oleh ath-Thabrani seperti itu, hanya beliau berkata “disamping kepadanya dengan “Fatihatul Kitab” saja. “[20]

Marfu’nya hadits wasiat Ibnu Umar ini adalah perkataanImam Murtadlaa Az-Zabidi, beliau juga menyebutkan pada salafush shaleh memang telah melakukan pembacaan al-Qur’an kepada mayyit, sebagaimana yang beliau kisahkan :

وقال أحمد بن محمد المروذى : سمعت أحمد بن حنبل رحمه الله يقول : اذا دخلتم المقابر  فاقرءوا بفاتحة الكتاب والمعوّذتين وقل هو الله احد . واجعلوا ثواب ذلك لأهل المقابر فانه يصل اليهم, كذا اورده عبد الحق الأزدى فى كتاب العاقبة عن ابى بكر أحمد بن محمد المروذى على الصواب
“Ahmad bin Muhammad al-Mardawi berkata : “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengataakn : “apabila kalian masuk area pekuburan maka bacakanlah oleh kalian surah al-Fatihah, Mu’awwidatain dan Qul Huwallahu Ahad", kemudian jadikanlah oleh kalian pahalanya untuk penghuni pekuburan sebab itu sampai kepada mereka’, yang demikian telah mewaridkan oleh Abdul Haq al-Azdi didalam kitab beliau al-‘Aqibah dari Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Mardawi atas jalur yang shawab (benar)”.[21]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah jelas-jelas mempraktekkannya,

وقد تواتر أن الشافعي زار الليث بن سعد وأثني خيرا وقرأ عنده ختمة وقال أرجو أن تدوم فكان الأمر كذل
“dan telah tawatur bahwa Imam asy-Syafi’i menziarahi qubur al-Laits bin Sa’ad rahimahullah, beliau memujinya dan membacakan al-Qur’an disamping kuburnya hingga mengkhatamkannya, dan beliau berkata ; aku berharap agar perkara ini terus di lakukan”.[22]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, Ibnu ‘Umar radliyallah ‘anhumaa dan lain sebagainya merupakan salafush shaleh yang asli. Kita mengikuti salafush shaleh dalam bingkai madzhab Syafi’i, demikian juga dengan para imam dan ulama lainnya. Tidak seperti mereka yang menyesatkan amalan salafush shaleh, karena tidak sesuai pemahaman mereka.

Wallahu A'lam []

[1] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi
[2] Sunan Abi Daud no. 3121
[3] Lihat : Muqaddimah Ibnu Shalah hal. 37 ; at-Taqrib wa at-Taisir (1/30) lil-Imam an-Nawawi ;
[4] Sunan al-Kubra lil-Imam an-Nasaa’i [10846], dan juga didalam Amal al-Yaum wal Laylah [1074].
[5] Shahih Ibnu Hibban no. 3002.
[6] al-Mu’jam al-Kabiir lil-Imam ath-Thabrani [20/219].
[7] As-Sunan ash-Shaghir lil-Imam al-Baihaqi [1014].
[8] Syarh As-Sunnah lil-Imam al-Baghawi [1464].
[9] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain lil-Imam al-Hakim [2074], beliau tidak mengomentarinya.
[10] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, beliau juga tidak mengomentari, dan dikatakan bahwa hadits-hadits yang tidak di komentari oleh Imam Ahmad didalam Musnadnya adalah shalih. [Lihat : Nailul Awthar lil-Imam asy-Syaukani (1/26).]
[11] Sunan Ibnu Majah no. 1448.
[12] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal [16969].
[13] Lihat : Thabaqat al-Kubraa li-Ibnu Sa’ad [7/380].
[14] Lihat : al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah [5/249].
[15] Lihat : Tarikh Damsyiq li-Ibni Asakir [48/82]
[16] Lihat : ad-Dirayah fiy Takhrij Ahaditsil Hidayah li-Ibni Hajar al-Asqalani [2/252]
[18] Lihat : Ittihaf Saadatil Muttaqin lil-Imam al-Hafidz al-Murtadla [10/71].
[19] Lihat : Nailul Awthar lil-Imam asy-Syaukani [4/29].
[20] Lihat : Ittihaf Saadatil Muttaqin lil-Imam Murtadla Az-Zabidi [10/71].
[21] Lihat : Ittihaf Saadatil Muttaqin lil-Imam Murtadla Az-Zabidi[10/71].
[22] Lihat : ad-Dakhirah ats-Tsaminah hal. 64.

Tidak ada komentar:

Translate