-->


"Kami tidak lebih hanyalah para penuntut ilmu yang fakir dan hina. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan Ahlus Sunnah Waljama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rosulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari Salafunas Sholih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, sumbernya langsung sampai ke Baginda Rosulullah SAW.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah.


Cari Blog Ini

Sabtu, 21 April 2012

Wasiat KH. Hasyim Asy’ari Untuk Menjaga Aqidah Kita


Al Ghazali menceritakan sebuah kisah, bahwa disebuah perbukitan nan elok, berdirilah sebuah rumah nan indah dan sedap dipandang mata. Disekeliling rumah itu dirimbuni pelbagai pepohonan yang rindang. Halamannya penuh dengan rerumputan dan bunga-bunga yang menebar keharuman. Begitu mempesona dan memberikan rasa nyaman bagi siapapun yg menghuninya, karena dirawat dengan perawatan yang alami.


Di kesenjaan usianya, si empunya rumah tersebut berwasiat kepada anaknya agar seantiasa menjaga dan merawat pohon dan rumput-rumput itu sebaik mungkin. Begitu pentingnya, samapi-sampai  ia berkata “Selama engkau masih bertempat tinggal dirumah ini, jangan sampai pohon dan tanaman ini rusak, apalagi hilang”.


Ketika tiba saatnya si empunya rumah meninggal dunia, sang anak menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh mendiang ayahnya dengan sungguh-sungguh. Rumah itu betul-betul  dirawat, demikian pula pohon dan rumputnya. Tidak hanya itu, si anak kemudian berinisiatif untuk mencari jenis tanaman lain yang menurutnya lebih indah dan lebih harum untuk ditanam dihalaman rumah. Maka, rumah itu semakin menggoda untuk dilihat dan dinikmati.


Si anak berbunga bunga hatinya. Dibenaknya terlintas kebanggaan bahwa dirinya telah berhasil menjalankan amanah dengan menjaga pepohonan dan rerumputan yang menjadi penyejuk rumah lebih dari yang diperintahkan oleh orang tuanya. Bahkan akhirnya, tumbuhan baru yang ditanam si anak mengalahkan “rumput asli” baik dari segi keelokan maupun harumnya.


Namun yang patut disayangkan, tanaman dan rumput yang pernah diwasiatkan oleh ayahnya akhirnya ditelantarkan, sebab menurutnya sudah ada rumput dan tanaman lain yang lebih bagus, lebih sejuk dipandang, lebih harum dan sebagainya. Bahkan saat “rumput asli” tersebut rusak, tak ada rasa penyesalan di hati si anak. “Toh sudah ada tanaman dan rumput yg lebih bagus” pikirnya.


Tetapi anehnya, ketika “rumput asli” peninggalan orang tuanya itu rusak dan musnah tak tersisa, bukan kenyamanan dan ketentraman yg didapat. Karena ternyata, rumah tersebut lambat laun menjelma menjadi tempat istirahat yang menakutkan. Betapa tidak, rumah tersebut dimasuki berbagai macam ular, baik besar maupun kecil yang membuat si anak terpaksa harus meninggalkan rumah tersebut.


Mencermati kisah ini, Al Ghazali memaknai wasiat orang tua tersebut dengan dua hal:


Pertama, agar si anak dapat menikmati keharuman rumput yang tumbuh disekitar rumahnya. Dan makna ini dapat ditangkap dengan baik oleh nalar si anak.


Kedua, agar rumah tersebut aman. Sebab aroma rumput dan tanamn tersebut dapat mencegah masuknya ular kedalam rumah yang tentu berpotensi mengancam keselamatan penghuninya. Namun makna ini tidak ditangkap oleh nalar si anak. ( Qodliyyah al Tasawwuf al Munqidz min al Dlolal, 140 ).


Kisah ini sangat relevan jika di analogikan dengan wasiat syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk menghindari ajaran beberapa tokoh yg menurut beliau tidak layak untuk dijadikan panutan oleh ummat islam indonesia, karena banyak hal yang bertentangan dengan apa yang diyakini dan diamalkan oleh ummat islam Indonesia yang dibawa oleh wali songo.


Kata Syaikh Hasyim asy’ari, sebagaimana telah maklum bahwa kaum muslimin di indonesia khususnya tanah jawa sejak dahulu kala menganut satu pendapat, satu madzhab dan satu sumber. Dalam fiqih, menganut madzhab Imam Syafi’i, dalam ushuluddin menganut madzhab Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi, dan dalam tasawuf menganut madzhab imam Ghazali dan Al junaidi.


Kemudian pada tahun 1330 H, muncullah berbagai kelompok dan pendapat yang bertentangan serta tokoh yang kontroversial yang berasal dari timur tengah, khusunya dari saudi.


Untunglah masih ada kelompok yang tetap konsisten dengan ajaran ulama salaf dan berpedoman pada kitab kitab mu’tabaroh/representatif, mencintai ahlul bait, para auliya, dan para sholihin, bertabaruk kepada mereka, berziarah kubur, mebacakan talqin untuk mayyit, meyakini adanya syafa’at, bertawasul dll . ( Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah: 9, Risalah Sunnah wal Bid’ah: 19) .


Wasiat Syaikh Hasyim Asy’ari tersebut bisa dimaknai dengan :
Agar kaum muslimin khusunya warga nahdliyyin dalam mengamalkan ajaran islam, selalu berpegang kepada madzhab yang Mu’tabaroh yang telah disepakati oleh para ulama
Menjaga aqidah ummat islam agar tidak terpengaruh atau dimasuki faham yang bertentangan dengan ajaran ulama salaf yang sudah turun temurun diamalkan oleh ummat Islam dunia khususnya Indonesia dan Nahdliyyin.


(Dikutip dari Majalah Risalah NU edisi 07)
Di Publikasikan Oleh : MT. Miftahul Khoir

Tidak ada komentar:

Translate